Headlines News :

Minta Disuapin Sampe Tuek Karya Jitet Koestana

Written By Admin on Wednesday, December 31, 2008 | 12:08 AM


Kemiskinan Rasa Humor

Oleh Darminto M Sudarmo


GAUNG isu pemberantasan kemiskinan tampaknya masih akan relevan hingga beberapa dekade mendatang. Persoalan kemiskinan, ternyata tidak hanya berkaitan dengan kasus ekonomi, namun juga menyangkut persepsi individual dan pola pikir kultural. Termasuk bagian yang disitir Jacob Soemardjo (Hikayat Si Miskin, Kompas, 26 November 1994), kemiskinan rohani, yang hingga kini belum disentuh setajam kasus kemiskinan jasmani.
Kemiskinan yang diderita masyarakat dunia berkembang memang lengkap. Dari kemiskinan materi, informasi, referensi, partisipasi dalam ajang perebutan peluang global, hingga ke hak-hak privasi selaku warga negara dan anggota masyarakat sebuah komunitas.
Akumulasi dari keseluruhan kasus di atas umumnya hanya menghasilkan penderitaan, ketertinggalan, keminderan, ketergantungan dan ketidakberdayaan. Masyarakat dalam strata peran yang demikian, memerlukan waktu yang cukup untuk membenahi diri. Banyak teori dan solusi kunci yang dimajukan para ahli untuk mengurai kasus kemiskinan, namun watak dan ciri kemiskinan yang beragam, ternyata tetap memerlukan fleksibilitas dan fisibilitas pendekatan dalam praktek di lapangan. Upaya-upaya general dan mengabaikan ciri lokal, lebih banyak terjebak pada hasil yang spekulatif dan krusial.

*

SEMENTARA itu, di bagian lain dari percaturan kemiskinan yang tidak sederhana masalahnya itu, kita dihadapkan lagi pada persoalan "kemiskinan" attitude atau eleganitas sikap dalam pergaulan masyarakat global yang -- konon -- sudah terpola oleh satu kriteria cara bertata krama yang santun tapi demokratis sesuai asas peradaban masyarakat internasional. Dalam arti memuat substansi, selain luwes dan elegan, juga memiliki rasa humor (sense of humour) yang memadai.
Kepemilikan rasa humor, diwujudkan dalam ekspresi-ekspresi yang sederhana. Tidak mudah tersinggung oleh stimulasi minor pihak "rival" dan fakta-fakta otentik di luar prediksi. Tidak membuat persoalan menjadi menggantung, sehingga pihak lain menjadi bingung lalu mengambil manfaat dari kondisi yang "konterapung" itu. Tidak gampang terjebak oleh agresivitas emosi primordial dan agitasi yang tidak fair. Sanggup melihat sisi "lucu" dari kekurangan dan ketidaksanggupan diri. Sanggup mengapresiasi, bahwa kekurangan dan kelebihan; kejahatan dan kebaikan; bukan monopoli pihak tertentu.
Kepekaan rasa humor juga muncul karena kemampuan melihat "sesuatu" yang dapat merangsang perasaan intelektual sehingga tercipta proses netralisasi. Ekspresi orang-orang yang memiliki peradaban humoristis, akan bernuansa lain dari yang berkecenderungan anarkis. Meskipun, keduanya sama-sama hendak melakukan "upacara" pelepasan katub penyumbat.

*

OLEH karena itu, manfaat yang dapat dipetik dari "kekayaan" rasa humor, bukan saja ketika harus berurusan dengan masalah-masalah individual, melainkan juga masalah sosial dan budaya dalam pengertian seluas-luasnya. Fakta-fakta yang dipaparkan di media massa dan cenderung sulit dilacak nalarnya, dapat ditemukan dengan menyediakan pendekatan lewat dimensi humoristis.
Masyarakat humoristis tak akan bingung lagi kalau mendengar usulan seorang pakar komunikasi yang bunyinya, pintar-pintarlah masyarakat membaca berita yang tak terbaca. Siaran yang tak disiarkan. Bahkan, iklan yang tak diiklankan.
Masyarakat demikian juga tak mungkin bingung mengakses komentar pejabat yang kadang terlalu luas dan berbau jargon untuk masalah-masalah yang sederhana dan kasuistik. Ashadi Siregar pernah menyindir pers yang cenderung ngublek-ublek fakta lunak namun lembek ketika berhadapan dengan fakta keras. Darmanto JT merasa aneh melihat sikap sementara pihak yang mencemaskan pengaruh buruk televisi: kalau itu benar, berarti sudah banyak orang Indonesia yang pandai karena pengaruh televisi pula.
Fakta-fakta humoristis, bahkan dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa kita punya istilah: pengusaha jago kandang, yang gigih memohon proteksi tapi keok dalam kompetisi terbuka? Mengapa ada anjuran: penegak hukum agar tidak menari di atas "bangkai" si pelanggar? Tentu saja semua itu menyiratkan kondisi yang di dalamnya memuat ketidakwajaran-ketidakwajaran antara konsep dan praktek di lapangan. Adanya pelecehan fungsi profesi. Adanya sikap jalan pintas yang menyepelekan sistem, mekanisme. Dan ini semua menjadi "santapan" lezat bagi masyarakat humoristis untuk menakar apresiasi dan daya nalarnya agar tidak kecebur dalam lumpur anarki. Tidak nyasar ke kemiskinan akal budi.

Darminto M Sudarmo, penulis dan pengamat humor.

Perdamaian dan Kedamaian, Ada Apa denganmu? Karya Jitet Koestana

Written By Admin on Tuesday, December 9, 2008 | 8:51 AM


Catatan Kajian Humor Dua Dekade Terakhir, Berpiknik ke Wilayah Instrinsik


Oleh Darminto M. Sudarmo

Apa boleh buat; kajian humor mau diringkas dalam satu tahun terakhir, ternyata tidak ada wacana apa-apa; negeri ini memang demikian; suka makan kue tapi ogah repot bagaimana membikin kuenya; apalagi ribet soal ilmu tentang membikin kue. Naik motor, mobil, kereta, kapal laut, pesawat terbang, ya untuk mobilitas. Seni di balik otomotif, di balik semua transportasi darat, laut dan udara, mungkin menarik; tetapi yang lebih menarik lagi adalah soal bisnisnya. Mau apa lagi?
Kendaraan rusak sudah ada bengkel, semua transportasi sudah tersedia maintenance-nya. Mau romantik sedikit soal kendaraan dan mobil kuno, yang punya sejarah dan kenangan sangat pribadi atau tak tergantikan oleh apapun, tetap saja dianggap sebagai persoalan yang kurang kerjaan dan buang-buang waktu. Pola pikir prgmatis memang berpendapat demikian, tetapi bahwa ilmu tentang otomotif dan alat transportasi darat laut udara tetap harus selalu ada, itu diperlukan agar peradaban tidak punah. Humor juga.
Ia bukan soal lelucon dan kata benda saja. Karena ada humor yang dimaknai sebagai lucu yang berarti kata sifat. Ada humor sebagai terminologi yang ternyata memiliki sejarah perubahan makna cukup lucu; dalam bahasa Latin, humor berarti cairan, anehnya dalam perkembangan waktu terjadi metamorfosa makna yang sangat mengagetkan, menjadi berarti: lelucon, lucu, guyon dan sebagainya.
Situs Wikipedia memberikan gambaran humor secara umum sebagai berikut: Humour or humor is the tendency of particular cognitive experiences to provoke laughter and provide amusement. Many theories exist about what humour is and what social function it serves. People of most ages and cultures respond to humour. The majority of people are able to be amused, to laugh or smile at something funny, and thus they are considered to have a "sense of humour".
Lalu sense of humor itu apa? Mengapa orang dengan latar belakang pendidikan, pengetahuan, budaya dan lain-lain yang berbeda juga memiliki rasa humor yang berbeda pula? A sense of humour is the ability to experience humour, although the extent to which an individual will find something humorous depends on a host of variables, including geographical location, culture, maturity, level of education, intelligence, and context.
Setiap lapis strata, setiap lapis intelegensi , budaya, usia, konteks persoalan maupun geografi berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam mengapresiasi karya humor. Itulah mengapa ada kelompok masyarakat yang merasakan kelucuan dari humor jenis slapstick (kasar) atau bahkan baru ketawa setelah melihat karya humor yang sarat berolah logika.
Arwah Setiawan, salah seorang humorolog serius dan ketua Lembaga Humor Indonesia berpendapat, humor adalah sebuah gejala yang secara mental mendorong orang untuk ketawa. Ia membagi humor menjadi dua. Pertama humor tak sengaja, peristiwa yang lucu; dan kedua, humor yang disengaja, karya humor hasil kreasi manusia. Lepas dari itu, pada akhirnya berbagai tokoh di dunia juga membuat definisi humor yang ternyata berbeda antara satu dan lainnya.
Sementara para praktisi lebih melihat bahwa humor adalah sebuah energi budaya. Energi yang mengandung pengertian sangat rumit. Begitu rumitnya, sehingga ia sekaligus memuat rajutan yang bertali-temali antara kekuatan rasa dan intelektualitas. Menikmati seni an sich, biasa dilakukan orang dengan otak kanan; menikmati kehebatan dan ke-genuine-an gagasan atau konsep, dengan otak kiri; lha, dalam karya humor , dua wilayah itu bertemu dan ditemukan dalam suatu adonan yang kemudian berwujud sebuah sajian.
Dalam tahun-tahun dahulu kala (1980 ke 2000), di negeri ini cukup banyak terjadi event yang agak berbau “diskursus” tentang humor. Seminar tentang humor diselenggarakan di mana-mana. Di Semarang, Pertamor (Perhimpunan Pencinta Humor) lewat prakarsa Jaya Suprana , berkali-kali ia mengundang tokoh-tokoh penting untuk bicara tentang humor (lihat: SPA: Semarang Pesona Aneh-aneh di http://www.kolomhumor.com/) .
Sebelumnya di Jakarta, Arwah Setiawan lewat Lembaga Humor Indonesia, bukan saja menyelenggarakan berbagai seminar tentang humor, tetapi juga lomba musik humor, pentas seni humor yang diikuti pelawak atau grup lawak seluruh nusantara; dan tak terkecuali pameran karya humor: dari karikatur hingga humor multidimensi. Artinya, pada tahun itu, wacana tentang kartun instalasi (karya humor eksperimental) sudah ada mendahului berbagai pameran seni rupa modern atau instalasi yang sekarang tampak lagi marak dan jadi pusat pergunjingan estetika.
Senyapnya wacana tentang humor, justru makin terancam oleh bergugurannya media-media (majalah) tentang humor , ditambah belum lama ini KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) melarang sebuah talkshow yang berbasiskan host pelawak (Tukul Arwana/Empat Mata) yang memuat adegan kurang layak sehingga mengundang protes para penonton dari berbagai wilayah di Indonesia (lihat: Kontroversi Ruang Katarsis di http://lawakindonesia.blogspot.com/). Ada persoalan inti yang agak kurang sreg setelah menyimak aturan main yang diterbitkan KPI tentang acara TV, khususnya yang berkaitan dengan karya humor. Dari pasal-pasal dan ayat-ayat yang jadi rujukan, nyaris mengerucut pada persoalan etika; dan hampir tak ada yang mengakomodasi ke persoalan estetika, khususnya estetika seni humor; sehingga untuk acara seperti “Suami-suami Takut Istri” atau “Extravaganza” yang nyata-nyata berbasiskan komedi/humor, tetap diteropong dari kacamata acara sinetron pada umumnya.
Salah satu estetika seni humor yang belum diakomodasi adalah persoalan salah-benar. Tak ada salah dan benar dalam seni humor; yang ada adalah lucu tidak lucu atau baik tidak baik. Dan itu sebenarnya juga merupakan persoalan dalam dunia kreativitas pada umumnya.
Catatan yang ditawarkan para ahli ini mungkin menarik menjadi bahan pertimbangan untuk para praktisi dan peminat kajian humor pada umumnya, bahwa humour occurs when: an alternative (or surprising) shift in perception or answer is given that still shows relevance and can explain a situation. Sudden relief occurs from a tense situation. "Humourific" as formerly applied in comedy referred to the interpretation of the sublime and the ridiculous, a relation also known as bathos. In this context, humour is often a subjective experience as it depends on a special mood or perspective from its audience to be effective. Two ideas or things are juxtaposed that are very distant in meaning emotionally or conceptually, that is, having a significant incongruity. And one laughs at something that points out another's errors, lack of intelligence, or unfortunate circumstances; granting a sense of superiority.
Sekian, salam humor selalu.

Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.

Maunya Serba Instan dan Tak Sabaran: Fenomena Zaman Kini, Karya Priyanto Sunarto

Written By Admin on Sunday, December 7, 2008 | 12:51 AM


Musik Humor Indonesia yang Senyap Gosip

TAHUN 1980-an, Jaya Suprana menjadi pembicara tunggal seminar “Musik Humor, Humor Musik” di Yayasan Pendidikan Musik Jakarta, pimpinan Rudy Laban. Pertemuan ini dihadiri kalangan terbatas, di antaranya almarhum Adidarma, pianis Iravati M Sudiarso, Chaerul Umam, Arwah Setiawan, dan sejumlah peminat lain.
Ada yang menarik dari seminar itu, bukan saja cara Jaya Suprana mempresentasikan materi dan mengolah alat bantunya yang multimedia (kartun, slide projector, video, audio, dan lain-lain) namun juga wawasan persoalan yang ditawarkan dan elemen-elemen kunci sekitar musik humor dan humor musik yang diasumsikan sebagai batasan (sementara).
Humor musik dan musik humor, apa ada bedanya? Menurut Jaya, humor musik, terbatas mengacu pada pemahaman historis dan sosiologis, yakni, aspek tentang sejarah dan riwayat yang berbau humor (lelucon) tentang musik bahkan musikusnya. Musik humor, mengacu pada penawaran isi dan bentuk musik (musikusnya?) yang berbau humor, yang meliputi syair, nada, instrumen, kostum, properti, bahkan performing-nya.
Hampir seluruh contoh yang diberikan Jaya suprana terjadi di Barat, baik soal humor musik maupun musik humornya, soal Surprise Symphony-nya Joseph Haydn maupun jemari-jemari ampuhnya Glen Gould, yang memerlukan direndam di pasar panas sebelum ia beraksi di pertunjukan.

Fenomena Slamet
Bagaimana dengan humor musik dan musik humor di Indonesia? Apakah sama sekali tak ada gosip yang pantas diangkat ke permukaan? Setidaknya ada beberapa fenomena menonjol yang terjadi di negeri ini, mungkin saja mengindikasikan suatu lintasan perjalanan musik humor di Indonesia.
Bermula dari empu musik eksperimental, Slamet Abdul Syukur, salah seorang di antara sekian biang yang merasa pengap pada “doktrin” musik impor yang terus menerus menjajah. Ia mencoba lepas dari kepengapan itu lalu mencari bentuk pengucapannya sendiri. Tak heran bila gerakan yang dilakukan Slamet, pada awal gebrakannya menimbulkan isu riuh. Ia memperlakukan piano tidak sebagaimana seorang pianis, begitu juga terhadap instrumen lain.
Ulah itu mengakibatkan efek tak terduga, nada-nada aneh. Ada suasana estetik tak lazim. Ia juga memperlakukan tempo dengan pendekatan lain. Bahkan pada pentas Suita di Gedung Kesenian Jakarta, ia cukup menggunakan mulut untuk melahirkan ekspresi nada-nadanya yang unik dan punya ikatan akar dengan tradisi primitif.
“Keberingasan” Slamet adalah revolusi konsep. Tapi apa hubungannya dengan musik humor? Didasari atau tidak, ia terlanjur menjadi inspirator bagi revolusi estetika, bahkan logika, dan di situlah konsepnya sengaja atau tidak terkait dengan kebutuhan humor. Dalam humor terdapat kewajiban, menggeliat dari estabilisme dan menggali peluang baru. Kewajiban melaksanakan hukum ini bahkan cenderung terkesan “sadistis”; sehingga pengulangan atas ide yang pernah “diproklamasikan” sebelumnya, dianggap sebagai kemandulan dan kemiskinan.
Periode selanjutnya, kalau kita mendengar nama Harry Roesli dengan geber-geberan musik kontemporernya yang unik, atau Sutanto (Mendut) yang mengubah disiplin instrumen dan penyiasatan elemen, dan lain-lain musikus yang sepaham dengan atmosfer Slamet, persoalan yang menjadi isu selanjutnya adalah apresiasi dan upaya mengkomunikasikan konsep-konsep musik eksperimental.
Ini mungkin tak mengenakkan hati. Dampaknya, musik humor Indonesia hanya menumpang kredo musik eksperimental. Faktanya, hingga kini belum ada musikus yang berdiri dengan konsep dan bendera humor, dengan target menyuguhkan musik humor yang lucu dan bermutu.

Fenomena Pop
Sementara itu, di belahan dunia musik pop, permainan musik humor masih saja bergerak dari jurus stagnan ke stagnan. Belum muncul kompleksitas elemen yang kaya tekstur dan warna. Ada kalanya, banyak yang terjebak dan menjebakkan diri pada pengandalan permainan syair lucu atau mengkritik-kritik. Pada kala yang lain, cuma bermain di penampilan dan “dramatisasi” yang mubazir.
Itu dilakukan “insan musik humor” Remy Sylado, Iwan Fals, Doel Sumbang hingga Gombloh. Belum banyak permainan yang bisa memenuhi kriteria revolusi nada, aransemen, instrumen, kostum, dan properti. Tak terkecuali Bing Slamet, Dul Kamdy, Tris Sakeh, Benyamin S, Ria Enes, hingga Oppie. Untunglah, niat bermusik mereka bukan dalam konsumsi musik humor.
Mengidamkan musik humor yang memenuhi kriteria kaya elemen dan tekstur sebagaimana yang disebutkan Jaya Suprana, masih menjadi ilusi. Bahkan ketika masyarakat kaget bercampur penuh harap dengan munculnya musikus besar seperti Ki Nartosabdo yang kaya tawaran dan auranya berlumuran humor, lagi-lagi kita dihadapkan pada pilihan lelucon syair. Gending-gending dolanan, memang diisyaratkan untuk sekadar menjadi pelipur lara. Tak layak berharap terlalu “muluk” untuk memenuhi kesadisan hukum humor yang tak kunjung terpuaskan dahaganya itu.
Sementara itu, gebrakan Basiyo lewat Pangkur Jenggleng-nya yang menggelitik dan memiliki syair kuat, posisi musiknya tetap saja menjadi elemen pelengkap. Lain lagi ulah Djunaedi CS. Pada salah satu episode kasetnya ia pernah nyaris menghadirkan musik humor yang cukup kaya dan menggelitik. Ada permainan logika nada. Ada dekonstruksi instrumen dan lain-lain. Namun bagian itu tidak diperdalam dengan serius. Djunaedi memang tidak melawak lewat musik. Akibatnya “keunggulan” itu cuma menjadi letupan kecil di antara kesenyapan yang panjang.

Fenomena Suku Apakah
Sampailah waktu pada perjalanan Suku Apakah, sebuah kelompok musik asal Surakarta yang muncul pada tahun-tahun terakhir ini. Semua anggotanya masih kuliah di UNS 11 Maret. Konon kelompok musik asal kampus ini sudah merupakan generasi keempat dan sudah ratusan kali mengadakan pertunjukan.
Ada yang menarik dari Suku Apakah yang selain berani mengibarkan bendera sebagai kelompok musik humor, juga telah membuktikan kelainan dan keunikan konsepnya dari sekadar permainan syair dan penampilan.
Jurus utama kekuatannya ada pada parodi. Ada memang jejak konsep Pancaran Sinar Petromaks maupun orkes Pengantar Minum Racun; yang pada masanya sempat memporakporandakan lagu Kidung dan heboh. Namun Suku Apakah menggeliat lebih ke rinci, bukan saja ke tubuh tapi juga ke jiwa musik, ke elemen-elemen yang belum tergarap sebelumnya.
Seiring dengan riuhnya semangat plesetan, Suku Apakah juga menerapkan konsep plesetan itu baik ke syair, lagu, maupun ke celah-celah yang sangat rumit sekalipun. Ini bisa terselamatkan karena tiap personelnya menguasai teknik secara baik.
Jurus plesetan itu tergarap rapi dan dipersiapkan, terutama ketika dibawakan dalam pertunjukan yang sebenarnya. Ketika Suku Apakah mencoba bermain di studio rekaman, apalagi membawakan karya-karya ciptaan sendiri, misalnya dalam album Mince (bukan bentuk parodi), spontanitas dan kenakalan yang biasanya menggemaskan itu sangat menakjubkan, kehilangan rohnya. Benar-benar tak terduga.
Pada era yang hampir bersamaan dengan keunculan Suku Apakah (informasi tambahan-dms), sebuah kelompok di bawah pimpinan Jadug Ferianto, mendeklarasikan musik keroncong bernuansa humor yang kemduian dirilis dalam album bertajuk KateBe, lumayan menggelitik dalam hal isi dan tawaran gagasannya, namun secara pemasaran, musik Jadug tersebut seperti tenggelam dalam arus besar industri musik pop yang lagi digandrungi publik ketika itu.
Di kemudian hari, tahun 1998, saya sempat berbincang dengan Jadug, Butet Kartaredjasa dan beberapa teman lain di Yogyakarta. Dalam pertemuan itu saya mencoba menyampaikan kepada mereka, bahwa materi musik di KateBe yang sebenarnya lumayan bagus itu, sayang bila tak diangkat lagi dalam format yang kira-kira punya spirit sejenis; karena secara faktual, belum banyak masyarakat yang berkesempatan menikmatinya. Bila saya tak silaf, beberapa waktu sesudah itu, Jadug dkk. mendeklarasikan kelompok musik keroncong ndugal-nya dengan nama Sinten Remen; secara tersurat dikatakan, bahwa sebagian dari materi musiknya bersifat daur ulang.
Upaya tersebut sungguh menggembirakan. Tetapi saya sungguh tak pernah mengerti, mengapa publik kita, mungkin para remajanya, sepertinya jengah banget mendengar kata keroncong, sehingga kehadiran Sinten Remen, hanya melekat di publik penggemar musik tertentu. Padahal, di dalam musik keroncong Jadug itu kita disuguhi tawaran-tawaran tema lagu, syair dan aransemen yang cukup menggelitik.
Apa boleh buat, itulah yang terjadi dengan musik humor kita. Jadilah, kerinduan yang semula tumbuh itu kini digerogoti kecemasan lagi, jangan-jangan musim kemarau pun akan segera tiba. Sungguh senyap dan sepi bila keadaan itu benar-benar terjadi.

Darminto M. Sudarmo, Penulis dan Pengamat Humor.

Catatan:
Artikel-artikel yang di-posting di halaman ini adalah tulisan Darminto M. Sudarmo (sebagian menggunakan nama samaran: Atin Supriyatin) yang telah dimuat di berbagai media daerah maupun ibukota antara tahun 1982 hingga 2004. Demi kelengkapan dokumen dan kajian humor, sebagian dari materi itu perlu disertakan agar pembaca mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang kronologi persoalan dan historisnya.
Tidak menutup kemungkinan, bila dalam perjalanan waktu ada wacana-wacana menarik tentang kajian humor mutakhir, tidak menutup kemungkinan pengelola blog akan memprioritaskan masalah tersebut agar dapat dikaji bersama-sama. Dan segera, tentu saja. Selengkapnya, lihat “Rujukan atawa Referensi” di halaman bawah.

Sawungkampret Pejuang Sodrun yang Romantik, Karya Dwi Koendoro


Demokrasi Nilai dalam Estetika

ISU tentang estetika dalam kesenian (seni rupa) di Indonesia, belakangan menjadi bahan pemberitaan cukup ramai. Salah satu tolok ukurnya, adalah munculnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang pernah dideklarasikan pada tahun 1975 dan oleh sesuatu hal lalu membubarkan diri pada 1979.
Satu hal yang tak terduga, kini semangat gerakan itu muncul lagi. Terekspresi pada pemerannya yang berlangsung dari pertengahan hingga akhir Juni 1987. Konsep yang ditawarkan, seperti menyiratkan kegelisahan serupa. Yakni semangat untuk menerobos kebekuan spesialisasi nilai. Yang dimaksudkan dari spesialisasi oleh gerakan tersebut tentu kubu atau penganut paham kebudayaan tinggi (high culture); yang selama ini meyakini, bahwa karya seni rupa masih berkutat antara: seni lukis (murni), seni patung, maupun berbagai ekspresi yang sejenis.
Batasan ini seperti memenjara, sekaligus menghakimi kemungkinan tampilnya kreativitas seni rupa. Yang sebenarnya, menurut paham gerakan seni rupa baru, bisa lebih luas dengan sekian media dan dimensi yang tidak lagi terkungkung.
Pameran yang mengambil pola Pasaraya Dunia Fantasi di Taman Ismail Marzuki Jakarta, memang mampu menimbulkan sejumlah dampak, terutama dalam dunia kesenirupaan di Indonesia. Dampak tersebut tercermin dalam hubungannya antara konsep dan nilai estetika. Jika gaung dan pengaruh ini sekaligus mampu menjadi “anak kandung” bagi warga seni rupa Indonesia, berarti sejumlah peluang tentang pemahaman dan pengertian seni rupa akan mengalami demokratisasi nilai.

Demokratisasi dan Pluralisasi
Konsep estetika dalam lorong kesenirupaan yang selama ini dianggap sah, adalah karya-karya seni rupa yang terekspresi lewat media: seni lukis, seni patung dan seni grafis. Selebihnya belum dijamah. Seperti misalnya yang tumbuh di luar negeri. Christo, seorang tokoh seni rupa realisme baru, pernah membalut jembatan Pont Neuf dengan kain warna kuning emas, berikut juntaian lampu-lampu warna-warni. Ulah Christo ini sempat bikin kaget warga Paris, dan dia menganggap karya tersebut adalah karya seni rupa. Meskipun dalam hal ini mengambil tekanan pada aspek situasi.
Pernah pula seorang seniman lain, mengadakan pameran “bau” di sebuah hall yang luas. Di dalam hall itu dibangun beberapa sekat atau bilik dari bahan tembus pandang (kaca). Tiap bilik tersedia tabung yang mengeluarkan bau-bauan. Maka dalam ratusan sekat itu, tersedia ratusan bau, yang tentunya bisa bikin pengunjung cengar-cengir atau tersipu-sipu. Bentuk semacam ini konon juga menghendaki disebut sebagai karya seni rupa.
Lalu muncul ulah yang lain lagi, gurun pasir yang gersang disulap jadi padang rumput yang hijau. Orang jadi cingak, ternyata itu juga ulah seorang seniman. Yang menyemprotnya dengan cat hijau dari udara. Lalu bukit karang juga disentuh, dibalut kanvas, lalu dilomeri cat, itu juga menghendaki disebut karya seni rupa.
Di Indonesia, barangkali ini juga akibat dari pengaruh informasi, atau karena memang menangkap semangat yang sama, yakni ingin menggeliat dari kebekuan pemahaman dan nilai estetika seni rupa establis, maka sejumlah anak muda dari sekolah tinggi seni rupa, bikin karya lingkungan di Parangtritis. Pantai yang menghampar luas itu jadi lahan yang mengasyikkan. Itu juga ingin diakui sebagai karya seni rupa yang sah.
Di Taman Ismail Marzuki, sejumlah anak muda yang disebut tadi, yang kemudian lebih beken dengan kelompok Gerakan Seni Rpa Baru Indonesia, juga bikin pameran yang lebih kontroversial. Lebih jauh lagi, karena mendayagunakan sejumlah unsur. Unsur rupa, bunyi, bau dan rasa. Ada sebuah kotak berlapis kain hitam, di atasnya terdengar sirine meraung-raung, tak jauh dari situ, terlihat kubangan darah. Ada pula penonjolan suatu bentuk, di bawahnya terdapat cassete recorder, yang memekikkan pidato Bung Karno. Ini juga menghendaki disebut sebagai karya seni rupa.
Tahun 1987 ini, antara 15-30 Juni, gerakan yang konon sudah resmi membubarkan diri itu, ternyata bangkit lagi. Kini tampil dengan meledakkan trend. Pasaraya Dunia Fantasi, pasaraya adalah toko serba ada, dunia fantasi adalah dunia angan-angan. Dunia yang ada di realitas dongeng, realitas mimpi, realitas imaji.
Apa yang ditawarkan? Mungkin ingin menjalin milliu apresian yang akrab dengan kenyataan tersebut. Apresian yang dekat dengan konteks. Tak beda realitas simbol urban. Cermin kebergegasan, cermin konsumtivisme, cermin warna kota. Yang di dalamnya diguyur seni rupa keseharian. Dari stiker, iklan, komik, sampul majalah, kalender dan sebagainya.
Seni rupa ini pada mulanya amat dilecehkan oleh para pengamat seni rupa serius. Bila kini ada semacam upaya memperjuangkan kehadirannya, tentunya bukan suatu hal yang berlebihan. Estetika bisa tumbuh di setiap milliu, ras, kelompok maupun unit. Dari yang makro hingga mikro, demikian setidaknya pandangan Arief Budiman, yang akhirnya dia lebih suka menyebut estetika “kontekstual”. Karena itu, estetika bagi unit yang satu bisa jadi berbeda dengan unit yang lain. Inilah yang kemudian menjadi semacam munculnya warna demokratisasi dan pluralisasi nilai. Dari pluralisme estetik ke estetika pluralis.

Gejala Pop
Apa pun istilah yang kemudian dilahirkan karena gerakan tersebut, salah satu semangat yang bisa ditangkap dari kegelisahan ini adalah munculnya pola atau idiom pop yang dijadikan sandaran meluncurkan jurus.
Sebagaimana kita ingat, estetika demikian bila dikaitkan hubungannya dengan ruang dan waktu, maka lebih cenderung memilih ruang kendati pun harus mengorbankan waktu. Tak beda sinyalemen Ignas Kleden, pop memang sengaja memilih penonton yang banyak kendati sekali gebrak sudah itu lalu dilupakan.
Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, barangkali harus muncul dengan sejumlah gagasan, agar kehadirannya, dalam menawarkan konsep, menawarkan alternatif estetik tidak dicengkeram rutinitas. Sebab peluang-peluang yang bisa ditempuh untuk itu nyaris tak mengenal batas dimensi. Malah secara gurauan, dimensi transenden maupun imanen bukan masalah lagi. Karena pemahaman rupa dalam alam transenden, bisa mengesankan “akal-akalan” kalau pinjam istilah orang sekarang.
Karenanya pula, bentuk dan media menjadi semakin mengembang. Situasi-situasi karikatural pun bisa diangkat sebagai alternatif seni rupa. Semisal di pasar ada orang mencopet dompet, si empunya mengetahui, sebelum si empunya berteriak, si pencopet telah berteriak lebih dulu. Hingga akhir dari situasi itu, si empunyalah yang jadi sasaran gebukan orang banyak. Tak beda juga misalnya terjadi serempetan di jalan raya. Pihak yang salah pun bisa berani menghardik dan marah lebih dulu, maka masyarakat lain akan mengikuti menyalahkan tanpa tahu duduk persoalannya. Apakah yang demikian juga ditawarkan sebagai seni rupa? Gejala yang merangsang tumbuhnya dialog.
Kegelisahan seni rupa baru memang layak muncul. Karena beberapa nilai, tak cukup diwakili oleh warna, garis dan bentuk saja. Realitas kehidupan adalah total. Dari unsur rupa, warna, bunyi, bau dan rasa. Kesemuanya punya kans untuk diangkat sebagai sebuah karya yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Apakah di sana nanti bakal sanggup menggiring ke suasana dialog atau kebuntuan, itu bergantung kepintaran para perupanya. Bagaimana menyiasati gagasan, menyusun simbol dan sebagainya.
Bila pilihan ini tak punya harapan untuk sanggup menyiasati waktu, itu sudah merupakan risiko dari sebuah alternatif. Karena konteks realitas memang senantiasa berubah. Baik menyusut maupun mengembang. Peran teknologi juga tak bisa diabaikan. Juga Poleksosbudhankamnas!

Gejala Jarak
Mengapa demokratisasi dan pluralisasi budaya perlu diadakan? Jawabannya adalah, karena terciptanya jarak dan penghakiman nilai estetik. Jarak apresiasi dan penghakiman nilai? Ya.
“Keindahan, karena itu, memang bukan monopoli kaum elite; terutama elite sosial, yang di Indonesia kini tampak masih gugup dan canggung mencari selera. Apa yang indah bagi orang “sekolahan” tak bisa dipaksakan sebagai indah bagi orang pinggiran. Tapi dengan sikap toleran dan demokratis sekalipun, tak berarti keindahan tak menyembunyikan hierarkinya sendiri, apapun kriterianya.” (Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir, Tempo, 27 Juni 1987).
Selanjutnya Daniel Bell, seorang tokoh sosiologi menyebut gejala demikian sebagai “the democratization of genius” lahir dari semangat kerakyatan. Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu, menandai meledaknya kesenian Barat di tahun 60-an. Yang kemudian sempat dicatat oleh sejarah munculnya sang “pelopor” seni rupa pop, Andy Warhol. Seniman yang pintar melukis ikllan, atau berleceh-leceh membuat kipas angin ukuran raksasa dengan bahan kanvas. Produk teknologi masa kini yang divisualkan secara gombor dan kedodoran. Atau seorang senirupawan kolosal seperti Christo, tukang menggarap lingkungan dan situasi.
Jarak apresiasi di Indonesia, barangkali sebuah kondisi yang gugup. Kehadiran seni rupa dengan sekian “kreativitas”-nya konon semakin tak terjangkau oleh sementara kaum elite pendidikan sekalipun. Coba saja simak, hitung kuantitas pengunjung setiap ada pameran lukisan di ruang pamer TIM misalnya, atau Balai Budaya, atau tempat-tempat lain yang ada. Bandingkan dengan jumlah pengunjung pameran kartun, atau seni-seni lain yang melibat atau merefleksikan peroalan masyarakat dengan kadar aktualitas dan faktualitas yang tepat porsi.
Jarak apresiasi demikian kini akan dibangunkan jembatan oleh konsep estetika ala Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Ada tanda-tanda bahwa penawaran nilai mendekati final. Dan barangkali saja, model seni rupa begituan akan laris. Kendati pun demikian, ini toh bukan satu-satunya pilihan, seni rupa paham establis tak berarti harus tersingkir, harus terhapus dan tak boleh hadir. Persoalan yang perlu dipahami adalah persoalan lorong yang boleh-boleh saja majemuk. Tanpa perlu ada represi antara satu dan lainnya.
Dengan hadirnya “lawan tanding” konsep estetik, sekaligus mencegah timbulnya praktik dan penerapan monolitas nilai atau penghakiman sepihak. Kita tinggal menunggu waktu saja, apakah benar gerakan tersebut mampu tampil eksis menghadapi berbagai gempuran dan perjalanan di proses waktu. Bila ya, itu berarti ia tak akan disebut sebagai gerakan lagi, melainkan sudah mencapai fase aliran; yang sah hadir di salah satu sentral, tempat konsep estetika mempertanggungjawabkan nilai-nilai yang ditawarkannya.

Darminto M. Sudarmo, Penulis dan Pengamat Humor.

Catatan:
Artikel-artikel yang di-posting di halaman ini adalah tulisan Darminto M. Sudarmo (sebagian menggunakan nama samaran: Atin Supriyatin) yang telah dimuat di berbagai media daerah maupun ibukota antara tahun 1982 hingga 2004. Demi kelengkapan dokumen dan kajian humor, sebagian dari materi itu perlu disertakan agar pembaca mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang kronologi persoalan dan historisnya.
Tidak menutup kemungkinan, bila dalam perjalanan waktu ada wacana-wacana menarik tentang kajian humor mutakhir, tidak menutup kemungkinan pengelola blog akan memprioritaskan masalah tersebut agar dapat dikaji bersama-sama. Dan segera, tentu saja. Selengkapnya, lihat “Rujukan atawa Referensi” di halaman bawah.

Seperti Judi Pertarungan Menuju Tampuk Kekuasaan, Kartun Sibarani


Pro dan Kontra Wayang Mbeling

SAYA merasa beruntung, dapat menikmati masa kecil yang indah dan bertabur kesenian di sekitar kampung saya. Tiap hari paling tidak mendengar alun gamelan dan suara nyi pesinden yang mendayu-dayu menggetarkan sukma. Dalam seminggu atau setengah bulan ada saja acara kesenian Jawa, wayang orang, wayang kulit, latihan menari, dan lain-lain.
Dan wayang, termasuk salah satu kesenian yang telah mengakar dalam persepsi kanak-kanak saya, kemudian tumbuh secara pelan tapi pasti menuju ke tahapan apresiasi. Lalu meloncat dalam fase kreasi, lalu mengantar ke arah peleburan yang sesungguhnya; yakni perasaan memiliki kewajiban untuk: merawat, memiliki, dan melestarikannya.
Di masa kecil yang manis itu, banyak muncul dalang cilik, yang merasa sah membawakan lakon, meski dengan gamelan mulut dan wayang dari daun sirsat yang telah dihilangkan lapisan luarnya. Atau gambar-gambar wayang yang tercetak di kertas. Bahkan tak kurang pula dari mereka ada yang sungguh-sungguh sanggup berperaga membawakan lakon dan wayang sungguhan. Ditanggap orang dan laris. Penonton gempar.
Masa kini, berapa banyak orang tua (ayah) yang berminat “ura-ura” sambil menggendong anaknya di malam terang bulan. Atau tiduran di bale-bale sambil membawakan suluk, atau sekadar mendalang, membawakan sepotong dua potong lakon.
Pada hemat saya, jauhnya apresian wayang yang semakin mengkhawatirkan terutama sekali karena lemahnya pembinaan kader apresian sejak dini mula. Bagaimana mereka bisa suka wayang jika sejak kecil cuma kenal bioskop, kaset lagu-lagu barat, ndang-dut, pop yang rupanya tepat porsi dalam mewakili idealisme dan eksistensi mereka. Energik, lincah dan genit!
Dan gending-gending Jawa? Buat mencapai rasa greget di daerah pedalaman yang memerlukan penghayatan intens dan penikmatan khusus, tentu tak terjangkau oleh mereka yang tak pernah meniti untuk lebur dalam suasana gending Jawa, apalagi dalam kondisi pamor gending Jawa itu menduduki nilai yang amat lain. Setidaknya bagi mereka yang merasa ada jarak.

Upaya Pintas
Jika kehadiran wayang mbeling salah satunya diasumsikan sebagai upaya untuk menjerat perhatian generasi muda agar tak tercipta jarak, mestinya sah saja. Namun upaya ini sesungguhnya cuma mampu memenuhi lapis permukaan. Tak beda langkah “schock therapy” yang diterapkan penembak misterius pada para gali (preman) guna memberantas kejahatan. Ada kesan pintas dan memaksa, karena kekurangmampuan sistem.
Itulah akhirnya kita cuma menemukan alternatif, lebih baik terlambat darpada tidak sama sekali?

Wayang Mbeling dan Mbeling dalam Wayang
Dua sifat global perangai dunia, serba kontradiktif. Siang-malam, sedih-gembira, tragedi-komedi, sembarangan-serius atau mbeling-serius. Kenyataan ini sah terjadi dalam setiap kesempatan. Keduanya punya hak untuk hadir.
Kalau kehadiran wayang mbeling disambut dengan apriori atawa gempuran kritik karena dianggap menodai pakem dan keseriusan yang sekian lama telah dipertahankan, dilestarikan; tentu anggapan ini kurang adil, prasangka sepihak; kurang membaca fenomena zaman yang senantiasa butuh gerak dan perubahan. Sebab bila sejak dini tangguh menanam kader apresian, maka kehadiran wayang mbeling bukanlah sebuah benalu yang siap menggeragoti tuan rumahnya. Dia akan berdiri dalam status antiserius. Atau masuk dalam wilayah daerah tersendiri; yang sesungguhnya sudah ada, yakni wadah humor.
Pernah grup lawak ibukota membawakan lakon Jayaprana Layonsari. Tentu saja dengan lenggang dan improvisasi humor, ini pun juga dianggap sah. Grup lawak itu tak menyalahi pakem yang tumbuh dalam benak penikmat; yang rata-rata sudah kenal bagaimana kisah itu sekian lama hidup dalam ingatan masyarakat.
Kemungkinannya juga akan sama bila sebuah grup lawak, atau katakanlah kelompok teater, membawakan drama Prahara-nya Shakespeare dalam versi mbeling. Sebab nantinya toh orang akan menilai bagaimana kelompok itu mampu memparodikan kisah tersebut. Tuntutan penonton tentu pada gemuk-kurusnya lelucon atau humor yang ada dalam pementasan itu.
Dengan demikian, bukan berarti para kreator yang memasuki dan bergerak di wilayah mbeling atau humor akan lepas dari tanggung jawab karya. Lepas dari “kerja” kreasi. Dalam mbeling itu ada mbeling yang baik, dan ada juga yang kurang baik. Ada yang kuat ada yang lemah. Bukankah olah kreasi, juga olah kerja seniman yang sah, butuh ide atau gagasan dan inovasi.
Semua yang terurai di atas itulah yang disebut wayang mbeling. Lalu mbeling dalam wayang itu yang bagaimana?
Sering mendengar Pak Narto Sabdo (satu-satunya dalang yang saya kagumi) mendalang bukan? Nah, jika Anda cermat maka Anda pasti menjumpai ke-mbelingan-nya yang benar-benar mbeling. Dalang mana berani menghumorkan Duryudono, raja Astina yang terkenal serius dan angker itu, kalau bukan dia. Saya pribadi berpendapat situasi yang dibentuk Ki Narto Sabdo, dalam memainkan tokoh-tokoh wayangnya sangat hidup dan “manusiawi”; eh, wayangawi.

Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.

Catatan:
Artikel-artikel yang di-posting di halaman ini adalah tulisan Darminto M. Sudarmo (sebagian menggunakan nama samaran: Atin Supriyatin) yang telah dimuat di berbagai media daerah maupun ibukota antara tahun 1982 hingga 2004. Demi kelengkapan dokumen dan kajian humor, sebagian dari materi itu perlu disertakan agar pembaca mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang kronologi persoalan dan historisnya.
Tidak menutup kemungkinan, bila dalam perjalanan waktu ada wacana-wacana menarik tentang kajian humor mutakhir, tidak menutup kemungkinan pengelola blog akan memprioritaskan masalah tersebut agar dapat dikaji bersama-sama. Dan segera, tentu saja. Selengkapnya, lihat “Rujukan atawa Referensi” di halaman bawah.

Pesta Demokrasi dan Ajang Para Elit Berkompetisi di 2009


Muchid Rahmat, Berkarya Sambil Menggelitik Rasa

Written By Admin on Saturday, December 6, 2008 | 1:08 AM







Berbicara tentang karya-karya kartun Muchid Rahmat, lajang kelahiran Kaliwungu, Kendal (Jawa Tengah) 27 Juli 1968 ini, rasanya saya kekurangan kata, kehabisan ungkapan. Betapa tidak? Lihat saja karya-karya yang tertayang di samping artikel ini; terlihat sekali keluasan wawasan dan kemahiran teknis Muchid sangat membanggakan dan kaya panorama.
Selain penghargaan di tingkat internasional dan nasional yang pernah dia peroleh, ada hal menarik yang tak perlu mempersoalkan itu semua; yaitu kematangan dalam berkarya. Tawaran-tawaran gagasannya senantiasa menimbulkan renungan-renungan dan gelitik inspirasi. Salah satu contoh, kartun berjudul “Hidup Harmonis” adalah gambaran sebuah paradoks manusia modern yang bingung dalam konsep dan tak jelas dalam berorientasi. Sentilan itu mengarah pada sejumput elit kita yang telah beku nalar dan hati nuraninya.
Pada karya “Infus Moral” kita mendapatkan sebuah ironi yang hingga kini tak kunjung selesai. Kursi itu adalah gambaran kekuasan dan manusia yang bakal duduk di atasnya. Mengapa bukan langsung orang yang duduk di kursi yang perlu dirawat dan diberi infus moral? Karena kursi sebagai simbol lembaga pun telah menyalahi fungsi dan menjadi preseden dari sebuah penyimpangan yang mentradisi.
Pada kartun yang menggambarkan seorang petugas yang tampak sedang mencari penjahat dan menggunakan anjing pelacak sebagai partner penyidikan, ternyata si anjing beraksi tanpa peduli skenario tuannya; ia justru menemukan tanda-tanda pada jejak kaki petugas itu sendiri. Ini pesoalan rumit yang menjadi perbincangan ramai di negeri kita saat sibuk melakukan gerakan pemberantasan korupsi. Bagaimana masyarakat tidak gemas dan geram jika melihat fungsi polisi yang seharusnya melindungi masyarakat malah melakukan hal yang sebaliknya. Begitu juga sebagian jaksa, hakim dan para penegak hukum lainnya.
Bila tatanan dan sistem telah diacak-acak, terutama oleh para elit yang seharusnya memberikan teladan pada masyarakat; bila hukum telah dilanggar atas nama kekuasaan; bila masyarakat kehilangan kepercayaan pada para pemimpin bangsa, maka bangsa ini sudah harus siap-siap menyelematkan diri masing-masing karena negara telah “tidak berfungsi “ sebagaimana yang diamanatkan: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pengangguran meluas, korban lumpur Lapindo tak kunjung beres, ekspor produk dalam negeri macet karena negeri pengimpor lagi meriang dilanda krisis finance dan mungkin juga ekonomi; dollar Amerika Serikat yang makin mengunyah-kunyah rupiah; sepertinya bangsa ini perlu waspada. Waspada pula bila para kartunis semakin tak tahan untuk tidak membuat karikatur dan beropini tentang kondisi negara dan bangsa; maka siap-siaplah kita semua akan melihat keadaan yang silang sengkarut ini dalam goresan kartunis kritis dan komedis mereka. Siap-siaplah untuk cemberut atau tersenyum dengan nyali ciut dan hati kecut.
Tetapi, tidak semua manusia Indonesia bertingkah laku dan bertindak mencemaskan. Ada satu dua pemimpin bangsa yang waskita terhadap situasai yang ada. Ibarat sekolam air, sebagai bangsa yang sangat berpengalaman dalam penderitaan dan berbagai cobaan, kita pasti dapat membedakan kolam yang keruh dan berbau dengan kolam yang jernih dan mencerahkan. Itulah makna dan fungsi paling hakiki sebagai rakyat; suka tidak suka, kita harus mau memilih. Harus menimbang-nimbang pilihan, meskipun kadang yang ada adalah yang tidak jelek di antara yang jelek. So...apa boleh buat! Pilkada, pemilu seringkali hilir mudik di sekitar kerja kita sebagai insan kreatif; tak terkecuali bagi para kartunis; tak terkecuali bagi Muchid Rahmat. Ujung dari semua keriuhan dan dinamika itu tak lain tak bukan adalah...ekonomi alias kemulyaan alias penghasilan. Lumayan kalau untuk kemanfaatan umat manusia lainnya; kalau untuk diri sendiri dan partai saja, di mana komitmennya kepada rakyat dan umat manusia Indonesia?
Masih mending memeta kerja kartunis; dalam penghasilannya terdapat formula kerja kerasnya dalam mencari ide, dalam memvisualkan gagasan dan dalam menawarkan kreativitas; yang bila direnung-runangkan semua itu berdaya gugah demi cerdasnya pola pikir masyarakat dan pencerahan bagi situasi yang penuh polusi dan pengingkaran terhadap amanat penderitaan rakyat.
Darminto M Sudarmo, penulis dan pengamat humor.

Dompet Sanggar Kokkang




Dalam usianya yang ke 26 (versi real time: 27 tahun) kas Kokkang telah terkumpul lumayan mengagetkan, yakni Rp10.000.000 (baca: sepuluh juta {bukan dollar AS} tapi rupiah). Sebuah jumlah yang sangat suci karena ia tercipta dari cucuran keringat dan kerja keras anggota Kokkang sekian tahun. Padahal, Kokkang bercita-cita dapat membangun sebuah bangunan di suatu tempat di wilayah Kaliwungu, Kendal, Jateng, yang di dalamnya dapat berfungsi sebagai:
1. Sarana belajar calon anggota baru – semacam sanggar belajar mengartun
2. Sarana penyelenggaraan workshop kartun yang dapat mendatangkan orang-orang ahli dari luar Kokkang
3. Sarana penyelenggaraan seminar/diskusi tentang kartun, karikatur, kesenian atau kebudayaan dalam arti seluas-luasnya
4. Sarana penyelenggaraan pameran kartun bagi anggota Kokkang maupun di luar Kokkang
5. Sarana kegiatan mengartun para anggota Kokkang 24 jam sehari semalam open house
6. Sarana penginapan sekadarnya bagi para kartunis atau tamu dari luar Kaliwungu Kendal dalam konteks Kokkang mengundang atau memerlukan kunjungan tamu tersebut
7. Sarana penyelenggaraan perpustakaan manual/digital tentang kartun/humor/dan produk referensi seni/budaya lainnya
8. Sarana penyelenggaraan produksi merchandize atau gift yang dapat dikoleksi pengunjung; seperti kaos, buku, gantungan kunci, mug, payung, tas, selampe, sandal dan lain-lain benda souvenir yang berbasis desain kartun
9. Sarana penyenggaraan laboratorium informasi Kokkang meliputi: media cetak, media elektronik dan media cyber (internet)
10. Sarana penyelenggaraan sekretariat Kokkang dalam pengertian sefungsional-fungsionalnya.
Untuk dapat mengakomodasi proyeksi Sanggar Kokkang tersebut, paling tidak diperlukan: tanah di tempat yang strategis (dekat jalan raya atau jalan kota) kurang lebih 500 hingga 800 m2. Bangunan-bangunan yang diprioritaskan meliputi: a) bangunan utama; b) bangunan depan/joglo/gazebo; c) bangunan kanan dan kiri; d) bangunan belakang; e) tempat parkir; f) tata taman/eksterior dan lain-lain. Ruang-ruang dalam bangunan berfungsi untuk: ruang tamu/joglo; ruang belajar/sanggar belajar; ruang pameran/ruang diskusi; ruang kerja kartunis; ruang workshop; ruang perpustakaan; ruang laboratorium informasi; ruang produksi benda-benda souvenir; ruang jualan souvenir; ruang penginapan; ruang sekretariat Kokkang dan lain-lain. Properti yang dibutuhkan meliputi: meja, kursi, almari, perlatan komputer, penerangan, tikar, tempat tidur untuk penginapan, rak-rak buku dan lain-lain untuk perpustakaan, peralatan pameran/partisi/tata lampu karya, catu daya listrik minimal 2200 wtt hingga 5000 wtt, rest room/kamar mandi dan toilet (3 unit) dan lain-lainnya.
Memang cukup kompleks dan ambisius, karena secara pariwisata sosok Kokkang juga cukup fenomenal dan dikenal masyarakat dari luar Kaliwungu; tetapi popularitas Kokkang yang telah membebani image para anggotanya, termasuk sebagai komunitas yang berpikir lokal beraksi global, proyeksi tersebut di atas masih dalam taraf yang wajar dan belum ugal-ugalan. Kalau misalnya proyeksi itu diharapkan terealisasi maksimal tahun 2010, maka estimasi biaya yang diperlukan berkisar antara 350 juta hingga 500 juta rupiah. Minimal kekurangan 340 juta atau maksimal 490 juta rupiah, karena di opersional Kokkang telah tersedia sedikitnya 10 juta rupiah.
Upaya untuk mendapatkan dana yang “tidak begitu banyak” itu dapat ditempuh dengan beberapa cara sebagai berikut:
1. Seluruh anggota Kokkang (termasuk Ketua dan Pembina; di Kaliwungu maupun di tempat lain) diwajibkan membuat lukisan di atas kanvas dengan cat minyak atau akrelik yang berbasis ide kartun. Seluruh karya itu kemudian dipamerkan (minimal di Semarang atau di kota-kota besar lain di Indonesia) kemudian setelah selesai pameran, seluruh karya itu dilelang dan hasil penjualan lelang setelah dipotong administrasi operasinal penyelenggara dimasukkan ke kas Kokkang untuk deposit anggaran pembangunan Sanggar Kokkang.
2. Melakukan kerja sama dengan Industri Batik Pekalongan yang pernah tertarik untuk mengakomodasi desain kartun dalam motif batik tulis/cetak sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Sdr. Masturi Safaat awal Desember 2008 lalu.
3. Menunggu datangnya angin sorga dari “Orang Gila” yang tajir banget sehingga mau membantu sebagai donatur tak mengikat dalam pembangunan sanggar Kokkang dan namanya akan diukir dalam memorabilia Kokkang secara abadi sebagai pahlawan bagi kartunis Kaliwungu atau Kokkang. Atau “Orang Gila” itu seorang hamba Allah yang rendah hati dan tak ingin namanya diketahui orang banyak. Beliau hanya ingin membantu dan itu semata-mata demi mendapatkan Ridha Allah.
4. Menyiapkan proposal pengajuan bantuan kepada fund-fund atau foundation (dalam negeri atau luar negeri) agar dapat diberi pinjaman atau bantuan berupa “Grand” (tidak mengembalikan karena bersifat hadiah/bantuan) dan bukan “Loan” (yang harus mengembalikan, karena bersifat utang).
5. Mengajukan proposal kepada industri-industri kreatif terkait yang relevan dengan kompetensi dan kapabilitas Kokkang sebagai komunitas yang memiliki banyak tenaga kreatif di bidang desain, sinema (kartun), ilustrasi dan lain-lain jasa yang berkaitan dengan produk karya kartun. Sharing apa yang dapat dilakukan Kokkang sehingga mendapatkan umpan balik berupa “dana massal” karena kontribusi Kokkang pada industri tersebut.
6. There is a will, there is a way, itu kata peribahasa berbahasa keriting yang artinya, di mana ada kemauan di situ ada jalan. Nah kita tunggu apakah benar otak kartunis Kokkang memang selalu dipakai atau dibiarkan buncret tergilas ganasnya zaman; cobalah tulis gagasan kalian (termasuk buatlah desain Sanggar Kokkang yang baru dan beda dari yang termuat kali ini), segila dan senaif apapun yang namanya gagasan selalu penting; karena ia akan memicu datangnya gagasan lain yang ternyata menjadi solusi jitu bagi persoalan kita bersama. Sekian semua gagasan itu dapat dikirim ke email kombat_publisher@yahoo.com atau ke email saya langsung. Semoga Tuhan selalu membimbing dan memberi jalan keluar bagi keinginan dan cita-cita kita. Insya Allah.
Salam kreatif,
Gus Dar, Ketua Dewan Syuro Kokkang eh, pembina Kokkang
darminto_ms@yahoo.com

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates