Headlines News :

Memilih Hidup Sebagai Kartunis

Written By Admin on Monday, May 25, 2009 | 2:15 PM


Perjalanan Menuju Dunia di Balik Cakrawala


Dikisahkan oleh GM Sudarta

Rabu Kliwon. Hari itu, malam takbiran menjelang Lebaran, 20 September 1945 dini hari, saya hadir di dunia. Konon, menurut cerita ibu, tamu yang berdatangan menjenguk kelahiran saya adalah barisan makhluk halus seperti genderuwo, pocong, dan glundhung pringis. Tamu-tamu istimewa yang tidak diundang itu membuat ibu pingsan. Entah benar entah tidak cerita itu, yang pasti sampai sekarang saya tidak pernah menjumpai makhluk seperti itu.

Anak yang lahir pada hari Rabu Kliwon, seperti saya, menurut ayah, berdasarkan hitung-hitungan pawukon, nantinya kalau dewasa akan menjadi pendhito. Bukan pendeta, melainkan pendhito dalam bahasa Jawa, misalnya seperti Pendhito Durno.

Tempat tinggal kami tidak begitu jauh dengan rel kereta api. Di masa kecil, saya senang
melihat kereta lewat dan sering main di rel. Bila melihat rel kereta api yang memanjang
dan kemudian hilang di cakrawala, selalu saya bayangkan bahwa di balik cakrawala itu
ada dunia lain. Dan, karena itu, saya sejak kecil berkeinginan untuk melihat dunia di balik
cakrawala itu. Itulah impian masa kecil saya, sehingga saya kepingin sekali menjadi masinis kereta api. Dengan menjadi masinis, saya bisa menikmati perjalanan jauh dan pergi ke dunia di balik cakrawala.

Saya masih ingat, saat Agresi Militer Belanda II yang sering disebut Clash II, tahun 1948, situasi begitu memprihatinkan. Zaman itu adalah zaman "malaise" bagi rakyat. Oleh karena Kota Klaten, tempat keluarga kami tinggal, diduduki tentara Belanda yang masuk kembali ke Indonesia ndompleng Sekutu, kami sekeluarga terpaksa mengungsi ke Desa Bayat, sebuah desa pegunungan yang terletak di sebelah selatan Klaten.

Diiringi dentuman mortir dan rentetan ledakan peluru, kami mengungsi lewat pinggiran desa. Ibu berjalan kaki dan saya naik sepeda roda tiga yang ditarik Ibu dengan menggunakan selen¬dang. Di pengungsian, saya sering melihat lewat lubang pintu para pejuang, bergerilya melintasi depan rumah. Pengalaman itulah yang antara lain mempengaruhi perkembangan imajinasi saya, yang kemudian saya wujudkan dalam gambar.

Setelah perang usai, kami sekeluarga kembali ke rumah di Klaten. Meski sudah kembali ke Klaten, tetapi kondisi sosial ekonomi belum pulih. Waktu itu, tidak jarang kami hanya bisa makan jagung, nasi aking atau tiwul. Tidak jarang pula kami makan nasi jagung yang keras, sehingga membuat saya sering menangis karena rahang kesakitan saat mengunyah nasi jagung yang keras itu. Untuk melupakan perut yang kosong, ke¬laparan, saya suka mencorat-coret tembok rumah dengan arang. Saya berusaha menggambar orang yang tengah berperang dan menggambar kereta api yang penuh penumpang. Kalau tembok sudah penuh dengan coretan gambar saya, yang menjadi tempat pelam¬piasan saya adalah jalan aspal. Saya menggambar dengan menggunakan kapur tulis.

Melihat hal itu, ayah membuat papan tulis dari bekas jendela yang sudah rusak. Papan tulis itu diletakkan di teras rumah. Jadilah saya menggambar apa saja di papan tulis itu. Saya menggambar bintang-¬bintang film yang saya tonton di bioskop (Ayah bersahabat dengan seorang pemilik bioskop. la suka iseng ikut menjaga pintu bioskop, sehingga meski masih di bawah umur, saya bisa nonton bioskop apa saja. Misalnya, Tarzan, Batman, Superman, hingga film "Niagara" yang dibintangi oleh Marilyn Monroe). Bintang-bintang film itulah yang saya gambar di papan tulis, termasuk Marilyn Monroe. Gambar-gambar saya itu banyak menarik perhatian orang, termasuk anak-anak sekolah yang sewaktu pulang sekolah lewat di depan rumah saya. Itulah, pameran lukisan saya yang pertama!!!

"Pinaringan"
Memang luar biasa, ayah yang kejawen dan boleh disebut "wong kuno", sangat mendukung kegemaran saya. menggambar. Sementara, ada anggota keluarga yang menganggap bahwa pekerjaan gambar-menggambar itu tidak akan menjamin masa depan. "Kamu itu, pinaringan," kata ayah, "yang artinya diberkati Tuhan. Kalau kamu laksanakan dengan baik, akan bermanfaat dalam hidupmu."

Dan, ini bukan hanya kebetulan. Mungkin, ini yang namanya "Jalan Tuhan". Oleh karena bisa menggambar, pendidikan formal SD, SMP, SMA bisa saya lalui dengan lancar, meskipun saya tidak pintar dalam berbagai pelajaran kecuali menggambar dan olah raga. Kesadaran akan pinaringan itu mulai terasa benar saat duduk di bangku SMPN I, pada tahun 1957. Guru kesenian saya, Bapak Mawaridi (alm) yang mengajar seni musik dan menggambar, setiap bulan memberi surat pengantar kepada saya untuk diberikan kepada petugas tata usaha sekolah. Surat pengantar itu digunakan untuk mengambil sekotak cat air merek PDK, kuas, dan kertas gambar. Dengan perlengkapan itu saya diberi tugas membuat lukisan apa saja untuk hiasan sekolah.

Itulah, pameran lukisan saya yang kedua!!!
Apa yang terjadi saat itu, memberikan kesadaran bagi saya akan "harga" sebuah gambar. Dengan sebuah gambar pemandangan permintaan guru aIjabar, membuat saya tidak masalah dengan nilai aljabar, meskipun saya sungguh sangat bodoh dalam ilmu itu. Waktu itu, saya beranikan diri untuk mengirim gambar ke majalah berbahasa Jawa, Penjebar Semangat, yang terbit di Surabaya. Kemudian ketika sudah duduk di bangku SMA, saya membuat komik dengan cerita Perang Aceh di koran Suluh Indonesia, terbitan Jakarta, dan komik cerita Saijah dan Adinda di Pos Minggu, Semarang.

Hasil dari kegiatan saya itu, bisa membantu untuk membayar uang sekolah. Itu sangat bermanfaat karena memang kondisi perekonomian keluarga saya sangat pas-pasan.

Merasa Menjadi Seniman
Saat duduk di bangku SMP, saya bergabung dengan APIK (Angkatan Pelukis Indonesia Klaten), yang dipimpin oleh pelukis Sri Suharto (alm). Bersama dengan Mas Sujio, pelukis asal Klaten, saya dalam keseharian setelah pulang sekolah pergi membawa map berisi kertas buram, berjalan ke mana saja, termasuk ke pasar untuk membuat sketsa. Saat itu, dada saya membumbung, serasa sudah seperti seorang seniman. Hasil dari latihan membuat sketsa masa itu, sangat bermanfaat di kemudian hari. Saya juga rajin mengunjungi pelukis nasional asal Klaten, Pak Rustamaji (aim). Waktu itu gaya lukisan Pak Rustam banyak yang hiper-realis, yang ternyata sangat mempengaruhi lukisan saya mendatang.

Pada tahun 1960-an, dengan maraknya kegiatan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan memasang poster-poster berukuran raksasa di tengah kota untuk kampanye politik, saya merasa tertantang. Saya kemudian menyaingi mereka dengan membuat poster berukuran raksasa pula yang digunakan untuk pentas drama teman-teman teater. Saingan saya tidak langsung waktu itu adalah guru menggambar saya sendiri sewaktu SMA. Meskipun kami berada di garis yang berlawanan, tetapi antara guru dan murid, kami tetap sangat bersahabat. Nasihatnya yang selalu saya ingat dan kenang adalah "Kita harus tidak bosan menggambar kapan saja, karena semakin lama, semakin tak terasa bahwa skill tangan akan bertambah terus."
Saya merasa sudah menjadi seniman. Apalagi, ditambah persahabatan saya dengan seniman-seniman seperti Agus Vrisaba, Deddy Sutomo, Arifin C Noer muda, dan WS Rendra muda, lengkaplah sudah dada membusung dengan pongah sebagai seniman tulen. (Bersambung...)

Ancaman Flu Babi, Golput dan Album SBY 2014

Written By Admin on Wednesday, May 13, 2009 | 5:05 PM

Oleh : Bambang Haryanto

Email : humorliner (at) yahoo.com

Numerologi sembilan. Komisi Pemilihan Umum (9/5/2009) sudah mengumumkan hasil pileg 2009. Tercatat sembilan partai yang memperoleh kursi di DPR. Partai Demokrat, partainya Presiden SBY, tampil di puncak. Kemenangan partai berwarna biru ini seolah mengukuhkan perhitungan yang menjadi rumor hot di kalangan paranormal yang menekuni numerologi selama ini.
Bahwa pemilu yang dilaksanakan pada tanggal 9 April (atau bulan ke-4), diumumkan 9 Mei, akhirnya mendaulat partai dari tokoh yang lahir tanggal 9, bulan 9, tahun 1949 dalam posisi nomor 1.
Kebetulan menarik lainnya, partai urutan nomor ke sembilan adalah Partai Hanura, juga partainya pensiunan jenderal, Wiranto. Ucapan negarawan Winston Churchill (1874–1965) dari Inggris memperoleh relevansi di Indonesia saat ini. Ia yang pernah menjabat sebagai perdana menteri Inggris tahun 1940-1945 dan tahun 1951-1955 pernah berujar, “dalam perang Anda hanya dapat terbunuh satu kali. Dalam politik, bisa berkali-kali.”

Ucapan itu mungkin dapat menjadi inspirasi bagi Sutiyoso. Juga tokoh berlatar belakang militer lainnya. Bahwa bila seseorang jenderal purnawirawan ingin maju sebagai calon presiden, haruslah mendirikan partai politik terlebih dulu. Nasehat serupa juga berlaku untuk Jenderal Nagabonar.

Dr. Subharata Singh, pengamat politik dari Universitas Nasional Singapura, memiliki komentar menarik. “Batas atas dan batas bawah penguasaan kursi di parlemen didominasi oleh partai mantan militer. Ini menjadi perkembangan menarik bagi masa depan kehidupan demokrasi di Indonesia . Battle of generals kini merambah ke gedung parlemen. ”

Sementara itu kalangan industri musik berpendapat lain. “Lanskap politik Indonesia kini diwarnai para jenderal yang suka menyanyi. Jenderal SBY begitu menjabat sebagai presiden sudah menelorkan dua album. Hal serupa pasti akan segera diikuti oleh Wiranto. Industri musik kita akan lebih semarak, karena bertaburan artis-artis berbobot penuh bintang,” kata Richardo Salindehoy dari EMBB Records.

Mutasi genetik. Menjelang pengumuman KPU itu, di Yogya juga muncul bintang yang lain. Bintang politik gerakan pro-demokrasi sejak era Suharto. Sri Bintang Pamungkas. Acara pertemuan nasional yang ia gagas bersama para pendukung gerakan golongan putih (golput), dibubarkan dengan paksa oleh aparat keamanan.

Alasan fihak yang berwajib karena pertemuan itu tidak memiliki ijin polisi. Obrolan yang beredar di milis-milis politik menyatakan bahwa fihak keamanan turun tangan karena mengkuatirkan dampak samping dari gerakan Sri Bintang Pamungkas itu.

“Ia mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia, pernah mencanangkan sebagai calon presiden, dan kini mengompori kembali gerakan golput di Indonesia. Sebagai negara demokrasi apa yang ia lakukan sebenarnya sah-sah saja. Tetapi kami berpikir dalam skala luas, yaitu mengkuatirkan mutasi genetika dari DNA politiknya tersebut akan menular ke sendi-sendi kehidupan lainnya. Misalnya menjadi gerakan yang bertujuan mendelegitimasi hasil pemilu. Termasuk potensi menyebarluaskan ancaman wabah flu. Kalau ia sedang flu dan berpidato ke mana-mana, apalagi di depan jutaan pendukung golput, apakah bukan berisiko mengancam kesehatan masyarakat?,” tegas seorang aparat keamanan berbintang dua yang tidak mau disebut namanya.

“Lihatlah apa yang terjadi dengan wabah flu babi dewasa ini. Beritanya jauh lebih menular daripada penyebaran penyakitnya sendiri. Kalau Anda membaca bukunya ahli pemasaran digital Seth Godin, The Unleashing IdeaVirus (2001), Anda akan tahu pilihan kami itu. Kami harus mewaspadai virus gagasan Sri Bintang dan kawan-kawan itu yang berpotensi mampu menyebar sebagaimana berita mengenai flu babi,” katanya memberikan alasan.

Proteksionisme terselubung. Begitulah, aparat berbintang dua itu tidak salah. Berita tentang Sri Bintang Pamungkas tersebut memang telah menyebar. BBC menyiarkannya. Yang kuatir berat kini justru pemerintah Meksiko. Beberapa hari yang lalu, terbetik kabar di BBC bahwa pemerintah menyatakan kesanggupan Indonesia untuk membantu Meksiko dalam mengendalikan ancaman flu babi.

Indonesia menurut duta besar Meksiko kepada Menteri Kesehatan RI, dipandang sukses mengendalikan wabah flu yang lebih ganas, yaitu flu burung. Meksiko ingin belajar dari Indonesia dan juga minta bantuan dari Indonesia. BBC mewartakan, bantuan itu bisa meliputi penyediaan masker. Tetapi tentang penyediaan masker tersebut dibantah oleh pejabat dari berwenang. Mexico pun jadi cemas.

Apalagi rumor pun kembali muncul dalam milis-milis politik. Terkait aksi pembubaran pertemuan aktivis golput di Yogyakarta semakin menimbulkan keyakinan kuat di kalangan aparat keamanan bahwa masker-masker tersebut lebih dibutuhkan oleh warga Indonesia saat ini. Demi alasan nasionalisme, demi aksi proteksionisme terselubung dan demi menjaga kestabilan ipoleksosbud dalam negeri.

“Dalam masa krisis ekonomi global dewasa ini, kita mau tak mau harus mendahulukan inward looking policy,” tutur Dr. Sumardiawan Jalingga, pengamat dari lembaga pemikir Hen, Cow & Swine Institute, Jakarta.

“Penguasa Indonesia cerdik. Dalam era pemerintahan Orde Baru yang represif selama 32 tahun, rakyat Indonesia sudah mampu terbungkam mulutnya hanya dengan pidato. Dengan mengangkat isu ekstrim kiri, ekstrim kanan, sampai isu organisasi tanpa bentuk, rakyat pun terdiam,” kembali analisis dari Dr. Subharata Singh, pengamat politik, dari Universitas Nasional, Singapura.

“Kini di era reformasi yang bebas, mereka yang vokal harus dibujuk untuk tutup mulut dengan cara yang lebih kreatif, edukatif, lateral, hieginis dan koersif. Ancaman wabah global flu babi manjur untuk tujuan politis semacam ini,” tegasnya lagi.

Di depan kamera televisi ia secara demonstratif menunjukkan sampul buku bergambar babi sebagai diktator dari novel Animal Farm-nya George Orwell yang diterbitkan pada tahun 1945. “Sama dengan tahun kemerdekaan negara Anda, bukan ?” katanya disambung senyum penuh arti.

Begitulah Indonesia . Sepertinya negara kita terancam tergelincir menjadi negara paradoks. Ketika tokoh yang berpeluang menjadi pemimpin nomor satu dan nomor dua adalah mereka yang suka membuka mulut, dengan menyanyi, rakyat yang kritis secara demonstratif justru terancam untuk menggunakan masker. Agar mereka tidak membuka mulut. Kepentingan untuk menjaga stabilitas politik dan menghindari ancaman wabah flu babi kini berkoalisi menjadi ramuan kimia pengambilan keputusan yang unik, sehingga menarik kajian para analis politik dan kekuasaan dari pelbagai negara..

Indonesia bernyanyi. Untung masih ada kabar baik. Richardo Salindehoy dari EMBB Records memberikan bocoran informasi Kalau saja nanti Presiden SBY akan terpilih kembali, tim suksesnya sudah mempersiapkan album lagu-lagu ketiganya. Album ini direncanakan diluncurkan pada tahun 2014, sebagai album kenangan untuk menandai akhir dari dua kali masa pemerintahan SBY.

Sebagai penggemar fanatik kelompok musik The Bee Gees di masa mudanya, SBY telah memilih salah satu lagu yang akan direkam dari milik kelompok Gibbs Bersaudara asal Australia itu. Judulnya : Swan Song. Memang lagu perpisahan.

Tetapi agar tidak mudah didakwa sebagai menjiplak, sebagaimana berita panas seputar lagu-lagu kelompok DeMassive dan Changcutters saat ini, lagu itu akan memperoleh intrepretasi, lirik, dan bahkan judul baru. Sayangnya, di negeri yang kaya pembajak ini, nomor lagu indah tersebut sekarang sudah beredar di luas masyarakat.

Bahkan ada kelompok musik baru The Fake Changcutters merilis parodi dari lagu itu dan ditayangkan di situs berbagi video YouTube. Salah satu bintang tamunya adalah Miss Piggy-nya Jim Henson. Kermit Si Kodok Hijau tidak nongol, konon sedang sakit flu babi. Lihatlah, judul lagu parodi tersebut sungguh aktual dengan realitas masa kini : Swine Song.

Siapa saja boleh secara gratis mengunduh video itu. Demi menghindari kejadian penularan virus flu babi yang bermutasi menjadi virus komputer, maka komputer dan penggunanya harus tetap mengenakan masker. Juga harus mengaktifkan peranti lunak anti virus yang mutakhir.

Ada sedikit warning tetapi simpatik : seluruh warga Indonesia dianjurkan bisa menyanyikan lagu itu bersama-sama. Asal, dan asal, tetap mengenakan masker yang menutupi mulut-mulut mereka.

Wonogiri, 9 Mei 2009

Tangga Langit by Zerinski

Written By Admin on Monday, May 11, 2009 | 6:23 AM

Pelawak dan Daerah Bebas Pretensi

Oleh Atin Supriyatin


SEBUAH bangsa boleh tidak punya koruptor, penjahat, debt collector, penipu dan lain-lain; tapi pelawak, harus punya. Bangsa yang tidak memiliki pelawak, akan terkena malapetaka. Demikian salah satu "gurauan" budayawan Emha Ainun Nadjib ketika menjadi pemandu "Saresehan Lawak" di Ancol, pertengahan Oktober '94 mendampingi Mensesneg Moerdiono (waktu itu), sang pembicara tunggal.

Pelawak dalam pengertian comedian menurut tradisi rasa dan pemahaman orang luar negeri (baca: barat), berbeda dengan badut, sang penggeli hati. Di Indonesia, dalam etnis Jawa, dikenal istilah punakawan atau pembantu -- biasanya berjumlah dua, tiga atau empat -- yang selain melayani tuannya; juga bertugas menghibur dengan cara berlelucon atau membuat dagelan. Tidak berhenti sampai di sini, punakawan juga mengemban fungsi penasihat, pembimbing dan kontrol sosial terhadap setiap kebijakan para tuannya (bendara).

Empat punakawan yang sangat populer adalah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Dalam makna mistis-filosofis, para punakawan ternyata juga menyimpan energi instrinsik yang amat dahsyat. Mereka bukan saja pembantu namun juga sekaligus dewa yang turun ke bumi. Artinya, bila para tuan atau bendara yang mereka abdi mulai menyimpang dari garis-garis keutamaan seorang satria dan tak mempedulikan lagi nasihat dan piweling (peringatan) yang diisyaratkan, maka tak segan-segan lagi para punakawan berunjuk gigi.

Berbagai model unjuk gigi dilakukan. Adakalanya dengan cara tiba-tiba melakukan "desersi" atau mbalelo. Kala lain menyaru sebagai raja atau tokoh dadakan yang kontroversial. Yang intinya melakukan suatu "gerakan" untuk memberi pelajaran kepada para penentu atau pengambil keputusan kerajaan. Ending dari friksi atau situasi yang seakan mencekam ini, baik fisik maupun argumen, selalu diakhiri dengan terbukanya, siapa "biang" di balik setiap "kekacauan" itu. Pada saat itulah, para punakawan itu membuka tabir motivasinya. Bukan mau melawan atau menjadi "oposan", namun semata-mata memberi pelajaran. Mereka siap membantu dan mendukung para satria, asal para satria segera memperbaiki kelalaian yang dibuatnya. Lalu para satria dan penentu negeri meminta maaf karena telah mengabaikan asas-asas keutamakan yang pernah diisyaratkan kepada mereka. Karena faktanya, kebijakan yang diluncurkan itu membawa keruncingan-keruncingan yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan negeri.



CONTOH di atas hanya ingin menampilkan sisi banding sekilas mengenai latar belakang budaya, tradisi, dan pemahaman rasa antara pelawak (baca: komedian) di luar negeri dan pelawak (baca: punakawan) di salah satu etnis kita; yang seakan-akan sulit dilacak di mana titik persamaannya. Namun, bila diusut soal fungsi dan peran mereka dalam beraktualisasi diri, akan ditemukan beberapa kesamaan menarik. Keduanya sama-sama mengemban kewajiban -- dalam refleksi profesi -- sebagai penghibur. Sama-sama pemantul fenomena yang terjadi di masyarakat. Sama-sama mengemban fungsi kontrol sosial. Sama-sama punya komitmen perlunya menjunjung muatan daya didik dan kobaran wabah optimisme di masyarakat.

Dalam konteks ini, pelawak, lepas dari rujukan sosio terminologinya: luar negeri atau bukan luar negeri, tetap saja menampilkan sosok yang mengemban fungsi luhur. Ia mampu menyampaikan kebenaran dengan ketawa. Mampu berdiri dalam garis bebas pretensi. Mampu menjadi jembatan antara rakyat dan penguasa; betapa posisi yang amat langka dan spesifik. Kepemilikan akses untuk bisa "berlalu-lalang" di dua wilayah yang amat istimewa.

Jadi, rasanya amat kurang bisa diterima akal kalau belakangan ini tumbuh semacam "kekhawatiran" sejumlah pelawak yang seakan sedang "goyah" kepercayaan dirinya dengan mengeluhkan, bahwa pelawak itu malang karena tidak punya pensiun di hari tuanya; tidak punya asuransi kesehatan; menjadi warga negara kelas dua; tidak punya pelindung birokrasi; dan lain-lain. Bukankah ini sangat bertolak belakang dengan fakta yang sebenarnya, bahwa saat ini pelawak sangat disukai, digemari, dan dicintai penggemarnya -- dari kalangan mana pun.

Menjadi pelawak adalah sebuah pilihan. Seperti halnya menjadi aktor/aktris, seniman, karyawan swasta, atau profesi lain yang kenyataannya belum tentu masa tuanya terjamin, belum tentu dapat pensiun. Apakah masalah -- yang menurut hemat saya -- sangat "intern" dan hanya soal keterampilan hidup ini layak diangkat sebagai tema mayor dalam isyu-isyu pertemuan dan saresehan berikutnya?

Upaya pertemuan dan saresehan -- yang melibatkan baik birokrat maupun bukan -- tetap saja penting dan sangat bermanfaat sejauh targetnya menuju pada penajaman dan peningkatan aspek instrinsik maupun ekstrinsik bidang keprofesian. Dengan demikian, upaya-upaya itu jadi relevan bagi masyarakat, baik dari kalangan birokrasi maupun bukan birokrasi. Ini bukan meragukan iktikad baik penyelenggara pertemuan maupun pihak yang menjadi pembicara, namun lebih dari itu adalah upaya mendudukkan posisi dan proporsi yang sebenarnya, bahwa pelawak adalah tetap saja salah satu agen kontemplasi. Bukan agen praktis dari kepentingan apa pun.

Ia tetap harus berdiri dengan adil. Memihak kepada garis yang sudah difitrahkan kepadanya: sebuah atmosfir yang bebas dari kepemihakan praktis. Dengan demikian fungsinya terasa optimal baik bagi penguasa maupun rakyat. Toh, dua-duanya memiliki peluang untuk benar dan khilaf (termasuk pelawaknya sendiri). Tak lucu lagi kalau pelawak harus "memohon-mohon" proteksi birokrasi atau "menebak-nebak" posisinya ditempatkan sebagai warga kelas dua oleh masyarakat.

Semangat independensi pelawak dan upaya membangun rasa percaya diri yang sewajarnya adalah satu-satunya harta berharga untuk bisa tetap survive dalam meniti tangga profesionalisasi karier. Seperti halnya seniman yang lain, pelawak akan membuat kursi, kerajaan, dinasti atau "konglomerasi" sekalipun semata-mata atas upayanya sendiri. Bukan jatuh dari langit, bukan anugerah sebuah SK. Bing Slamet, Johny Gudel, Gepeng, Bagyo, dan lain-lain nama yang tak dapat disebutkan satu persatu adalah barisan sejarah pelawak yang inspiratif untuk dikaji dan direnungkan tahap-tahap perjalanan kariernya.

Atin Supriyatin, pengamat sosial budaya, tinggal di Jakarta.

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates