Headlines News :

Strip Kartun Martono

Written By Admin on Thursday, July 30, 2009 | 12:30 AM

Menanam Indonesia

MS Kaban, Menteri Kehutanan RI, Mengajak, Mari Menanam Indonesia!

Oleh Tandi Skober

Zikir hutan mengalir di kalbu Hamsad Rangkuti ketika menjadi saksi prosesi akad nikah putranya. Ada lafal akad nikah bahwa putranya menganugerahkan mahar berupa 12 gram emas dan 500 bibit jati unggul nusantara. Ketika tanda sah halal pernikahan berkumandang, tak mustahil belantara hutan nusantara menasbihkan firman Tuhan tentang makna sebuah pohon. Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya ke langit. Ia memberikan buahnya pada setiap musim dengan seiizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan untuk manusia supaya mereka selalu ingat (Alquran, surah Ibrahim [14]: 24-25).

Persembahan kepada Bunda Alam
Tanah dibelah, ditanami, dan makhluk Tuhan itu tumbuh liar memanjat langit. Akarnya menghunjam kokoh. Pada setiap buahnya, ada sungai-sungai sunyi kearifan kontemplatif. Simak, jiwa manusia Jawa ketika langkah lampah selalu berawal dari wayang gunungan hutan dan lakon ditutup juga dengan wayang gunungan hutan. Rimba belantara pun menjadi ayat-ayat Tuhan! Untuk satu pohon yang ditanam, butuh suara sakral, butuh prosesi perenungan yang jauh. Lihat, orang Uluiwoi, Tolaki Sulawesi Tenggara, tiap kali melangkah di belantara hutan selalu memandang wotika, yaitu tiga buah bintang yang berbaris sejajar terletak di sebelah timur, memerhatikan suara meualo burung tekiki, mendengarkan suara alam yang mengabarkan roh hutan yang bertasbihkan kinasih humanisme yang agung.

Berangkat dari kearifan kultural itulah, manusia tidak hanya dimahkotai keajaiban-keajaiban budaya jagawana, juga memiliki pilihan-pilihan untuk menumbuhkembangkan forestrasi. Ada mahar nikah yang di dalamnya ada hasrat menasbihkan zikir air mata syukur. Ada hentakan keyakinan para musisi saat mengibarkan tembang 'tongkat dan kayu jadi tanaman'. Ada doa lirih dari masa lalu yang menceritakan setiap tangan manusia pada hakikatnya ada hak bumi untuk mendapatkan sedekah. Manusia budaya menyebutnya sedekah bumi.

Menanam pohon, sekecil apa pun, pada hakikatnya, di akhirat kelak akan tumbuh menjadi taman surga kita. Manusia Jawa Pesisir menyebutnya 'bela sunat'. Sebab, saat sang anak dikhitan, konon kriwilan kulit yang disunat itu ditanam bersama bibit pelem. "Jadilah kelak kamu seperti pohon mangga. Tumbuh besar, akarnya menghunjam tanah, buahnya lebat. Tiap kali ada yang melempar dengan batu, maka dibalas dengan jatuhnya buah mangga Dermayu yang harum dan manis," tutur lirih masa lalu pesisir Indramayu.

Nusantara memang tercipta dari serpihan surga yang membias. Meski luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi, di tanah surga ini ada 11 persen spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Ini bukan mitos. Dari sinilah, banyak impian bisa dialirkan. ''Bila tak pernah menanam pohon, jangan dipetik daun yang hijau.'' Misalnya, menjadi ungkapan khas Melayu Deli. Mengapa? Saat sidang akbar di padang mashar ukhrawi, kelak daun yang dipetik akan menuntut tangan zalim kita. Dari selembar daun, tidak mustahil akan tumbuh bunga. Dari kelopak bunga, tidak mustahil tumbuh cikal-bakal buah. Artinya, saat daun itu dipetik, saat itu pula terjadi deforestrasi.

Disebabkan hal itu, tak sedikit para calon haji tiap kali mengadakan prosesi syukur bin nimah jelang berangkat haji, menanam pohon di halaman rumahnya. Ini tak sekadar pohon kenangan apabila pada akhirnya wafat di tanah suci, tapi juga memiliki harapan akan menjadi penebus dosa ketika secara sadar atau tidak sadar pernah iseng memetik daun, memotong ranting, atau menumbangkan pohon. Ini amalan saleh! Lagi pula, dari pohon yang ditanam, sepanjang pohon itu tetap tumbuh kokoh, dipastikan akan mengalir pernik-pernik pahala yang diyakini sebagai kenikmatan di alam barzah. ''Buah dipetik orang di dunia, pahala membekas hamba di alam barzah,'' ungkap pepatah lama.

Maka, tak aneh manakala tak sedikit para sufi yang meyakini dari pohon yang ditanam di dunia akan terbuka sebuah pintu surga di akhirat. Hal ini pernah menjadi tren kisah-kasih remaja tahun 1980-an! Sebelum sang kekasih pergi jauh ke negeri orang menimba ilmu, di sebuah bukit ditanamnya pohon. ''Pohon ini adalah saksi kisah-kasih kita, dik. Pupuklah, siramilah dengan air. Rawatlah tiap helai daun dari hama-hama mematikan. Pandanglah pohon ini, tiap kali rindu adik membara di kalbu,'' tutur lirih sang kekasih.

Pohon pun jadi saksi kisah-kasih merasuk sukma. Simbolik yang melankolik. Tiap pagi dan petang, ia sirami pohon cinta itu. Ia yakini sesungguhnya dari pohon akan tumbuh rasa kasih tak bertepi. Apa artinya? Pohon juga berzikir. Daun-daun hijau mengalirkan warna teduh. Dan, di bawah sebuah pohon, kita tidak hanya akan didamaikan bentangan alam juga akan merasakan semilir angin cinta yang tak rapuh ditelan zaman.

Dari belantara hutan Papua, konon tiap kali ada penikahan, sang pengantin pria menanam pohon matoa seraya mengalirkan syair tentang hakikat pernikahan.
Fafisu saswar ku bena ro Pasir Putih,
syambilab isyof fioro imnisra matoa bom Umsini.
Na byekakop beyuser ro wamo Manokwari,
Ifar maimnis rusa bero abris Rendani .
(Kisah kasih kita di Pasir Putih,
teguh abadi seperti pohon Matoa di Gunung Umsini.
Akan terukir lintas angin Manokwari,
berlari bagai rusa di rumput datar Rendani.)

Sebatang pohon dalam perspektif manusia Papua kemungkinan menjadi tanda cinta pelabuhan kasih. Di bawah pohon dalam lanskap lengkung langit bergemerlap bintang, keduanya memadu kasih. Pada saat sang ibu melahirkan juga berada di bawah pohon. Tidak hanya itu, didakinya Gunung Kebar ditanamnya rumput kebar yang diyakini bahwa dari rumput kebar akan ada keajaiban vegetarian yang membuat rahim sang istri tidak mandul.

Sebatang pohon pada akhirnya seserpih surga forestrasi! Saat anak-anak lahir, bagi masyarakat Jawa, ketika uri dimasukkan dalam kendi, saat itu juga uri jabang bayi dan sebatang pohon ditanam, dicahayai lampu bambu yang berkerdip-kerdip. ''Gusti Allah yang Maha Pemelihara, jadikan pohon itu teman sedulur papat kelima pancer sang jabang bayi.'' Doa lirih sang ayah.

Apa artinya? Ada nyanyian nan indah dari masa ke masa yang dituturkan secara kultural oleh nenek moyang kita bahwa pohon memiliki hubungan lir manis kalawan madu dengan seberkas roh manusia. Mulai dari kelahiran, khitanan, pacaran, pernikahan, berangkat haji, kematian, hingga alam barzah, tak pernah lepas dari menanam pohon. Itulah sebabnya para pegiat peduli hutan membentangkan slogan "Indonesia Menanam!" Mengapa? Hutan dari masa ke masa selalu mengzikirkan kalimat, "Menanamlah Indonesia!"

Indonesia Menanam! One Man One Tree ! Dan, entah apalagi pada hakikatnya sebuah rangkaian panjang perjalanan budaya jagawana dari masa purba kini sampai ke batas kaki langit waktu tak terhingga. Sebuah kebijakan sekaligus kebajikan! Ada ruang forestrasi yang mestinya tak pengap, bila pada saat tiap manusia Indonesia meyakinkan diri mereka bahwa sesungguhnya mereka lahir dari rahim Bunda Alam.

Global menghijau
Mahar nikah 500 bibit jati nusantara bisa jadi sebuah isyarat lirih dari seorang putra budayawan Hamsad Rangkuti. Dari lanskap perspektif forestrasi, hutan kerap menawarkan kearifan-kearifan humanistik. Dalam hutan, ada ayat-ayat Tuhan yang mengalirkan pernik-pernik surga yang jauh, yang dari setiap pohon dijanjikan ada banyak pahala.

Maka, mari menari memasuki jiwa belantara hutan. Mari menananam, Indonesia! Bersucilah dengan tanah basah. Berzikirlah dengan pohon yang tertanam dalam rahim tanah. Alirkan air mata syukur tanah air hingga pohon-pohon itu tumbuh, tumbuh, dan terus tumbuh menjadi kearifan global menghijau.***

Naskah Drama MUTASI SUNYI

Oleh Tandi Skober

Sinopsis
Bermula dari ditemukannya sebuah prasasti kuno ‘Uler-Uler Kober’, Insya Allah, lakon teateronik ini saya muncratkan. Bunyi prasasti dalam teks huruf Jawa Koek Cerbon gundul pada hakikatnya bertutur seputar fenomena manusia Jawa pada saat bermutasi (atawa hijrah) dari masyarakat medeni (menakutkan) ke masyarakat madani (civil cociety).
Yang membuat rame ini cerita, ternyata tiap orang beda dalam memaknai prasasti Uler-Uler Kober itu. Kimardiah, misalnya, penemu pertama berpendapat pararsasti ini mengkhabarkan adanya harta karun yang selayaknya digali yang tentunya milik sang penemu. Awalnya Kimardiah bingung lantaran tak bisa baca teks prasasti. Untung ada Nurdin Mohamad Nurudin yang memang spesialis penterjemah batu tulis. Meski begitu Nurdin menolak untuk menafsirkan Prasasti Uler-Uler Kober itu. Ada firasat yang sulit diterjemahkan dengan nalar bahwa kalau Prasasti Uler-Uler Kober itu diterjemahkan maka akan terjadi geger-rerungon yang colaps.
Kimardiah marah! Nurdin dibunuh! Dan dalam lanskap sunyi, usai pembunuhan itulah, Nurdin memacapat Prasasti Uler-Uler Kober.
Nurdin, benar! Prasasti Uler-Uler Kober akhirnya menjadi magnit yang membuat semua orang untuk memilikinya. Alkisah, Zinandin, seorang politikus ternama meyakini bahwa teks-teks prasasti itu sebagai ajaran politik dari masa lalu yang menuturkan pernik-pernik upaya untuk meraih kekuasaan. “Siapapun yang ngerti teks Cerbon gundul ini akan menjadi presiden!” teriak Zinandin. Ia meminta agar Kimardiah melepaskan Prasasti Uler-Uler Kober. Akan halnya Nieke Nurjinah seorang pesinden merangkap artis selibritis ternama memaknai batu tulis itu sebagai sumber aura ajian pengasihan. Dan Nurjinah dengan segala cara ingin menguasai Prasasti Uler-Uler Kober.
Terjadi konflik antara politikus Zinadin dan Nurjinah. Hasilnya? Kesepakatan untuk bersetubuh disaksikan Prasasti Uler-Uler Kober . Konon ini agar pasangan sexs itu akan mendapatkan kekeramatan luar biasa dari Prasasti Uler-Uler Kober.
Itu persepsi masyarakat kelas menengah ke atas. Akan halnya, masyarakat bawah yang mana disebut juga komunitas akar rumput, konon batu tulis ‘Uler-uler Kober’ itu diyakini sebagai kode cespleng judi Togel (toto gelap). Bahkan Masya Allah, masa iya, sampai ada yang mentuhankan batu tulis lebih tuhan daripada tuhan! Lantas kalangan preman, pencopet, dukun, polisi, tentara, wartawan dan entah apa lagi melihat batu tulis dalam beda persepsi yang multi dimensi.
Hingga pada suatu hari, Nurjinah dan Zinadin melesat menjadi tokoh elite pusat kekuasaan. Mereka meyakini itu berkat persetubuhan di pelataran Prasasti Uler-Uler Kober. Itulah sebabnya ia berniat membawa Prasasti Uler-Uler Kober ke pusat kekuasaan. Ambisi Nurjinah ditentang oleh kalangan massa arus akar rumput. Dasar Nurjinah orang kuat Jakarta, ia hadirkan tentara untuk menggoalkan ambisi itu.
Konflik antara tentara dan massa berlangsung represif.
Agar lebih rame lagi, dan seperti biasanya, dalam situasi yang multi konflik ini muncullah tokoh arif wicaksono, elegan yang juga Islami. Namanya: Tandidun. Lelaki berwajah lugu ini dikenal sebagai seorang budayawan yang berada di atas awan. Konon ia turun dari mega-mega kontemplasi dan berusaha menafsir tunggal teks parasasti ‘Uler-Uler Kober’ itu.
“Batu tulis ‘Uler-Uler Kober’ itu tak lebih dari sekedar puisi atawa sajak kuno dari seorang pujangga bernama Kober. Bukan firman Tuhan, tidak juga tulisan hantu. Dan sama sekali tidak meramal masa depan. Tapi lebih tepat disebut obsesi mbah Kober dalam nenatap parahara di jamannya,”ucap Tandidun.
Agar cerita ini terus ditonton, saya putuskan bahwa massa menolak mentah-mentah apa yang dituturkan Tandidun. Zinadin misalnya berpendapat apa yang diucapkan Tandidun itu sebagai kebohongan publik, nalar konyol, olok-olok tak lucu dll, dlsb. Sementara Kimardiah menuding Tandidun sebagai seekor seniman sinting. “Namanya saja Tandidun pasti orang edan. Bila tidak edan yah tidak bernama Tandidun!” teriaknya, sombong dan wahhhh angkuhnya. Terlebih lagi Nurjinah ia debat semua konsep-konsep riliji yang dituturkan Tandiun.
Konflik kian meruncing manakala Tandidun tebarkan himbauan bahwa sudah saatnya bermutasi dari komunitas hantu ke komunitas Tuhan. “Itulah inti dari batu tulis ‘Uler-Uler Kober’,”ucap Tandidun, “Sebagai ummat Muhammad SAW, mari kita bangun masyarakat madani. Sebuah tatanan masyarakat yang mengakses tuntunan dari Allah dan Rasul.”
Massa menolak! Nurjinah menolak! Tentara bergerak hendak mengusir Tandidun. Dan, Tandidun terpaksa mengeluarkan bomt! Ia ingin hancurkan Prasasti Uler-Uler Kober. Ia tahu Prasasti Uler-Uler Kober itulah sumber mala petaka yang membuat orang mentuhankan hantu.
Saat-saat kritis, Kimardiah berhasil menelikung Tandidun dan merampas granat itu. Terus? Nurjinah memerintahkan tentara secepatnya memasung Tandidun di dekat Prasasti Uler-Uler Kober! Bukan cuma dipasung juga diputuskan Tandidun dieksekusi mati!
Malam terakhir sebelum Tandidun dieksekusi datanglah seorang lelaki tua ringkih membawa lentera.. Ia berjalan pelan mendekati batu tulis ‘Uler-Uler Kober’ dan Tandidun yang sedang dipasung. Dari bibirnya mengalir zikir dan teks batu tulis ‘Uler-Uler Kober’. Itu diucapkan ulang terus menerus.
Tandidun tersentak. Ia melihat kearifan purba yang pelan-pelan seperti mensterilkan ruang nalar dan iman. Sebuah monolog panjang antara Lelaki Tua dan Tandidun menjadi aura cerita bernafaskan keIslaman.
Tandidun pada akhirnya dieksekusi mati. Tapi ia tetap hidup. Ia bergerak menjadi lelaki tua yang meninting lentera dan menjadi pembawa berita sekaligus cerita agar manusia tak pernah berhenti untuk hijrah ke komunitas masyarakat madani! ***

Semarang, 21 Dulkangidah 1935/21 Dzulqa’dah 1423 H/24 Januari 2003 M
Hak Cipta Tandi Skober

Hoesie in Action

Written By Admin on Sunday, July 26, 2009 | 2:31 PM

Sinisme Gelar?
Kartun Hoesie


Ritual Daun Berhala
Kartun Hoesie

Perjuangan untuk Rupiah by Sukriyadi Soekartoen

Written By Admin on Tuesday, July 21, 2009 | 5:45 PM

DEBAT PESINDEN, ke Mana Contreng Kualamatkan?

Written By Admin on Saturday, July 4, 2009 | 1:28 PM

Kartun Maulana Wahid Fauzi



Oleh Tandi Skober

Pemred Foeza Hutabarat cuti rindu, Redpel Kardy Syaid hunting ke Kelantan Melayusia. Reni Teratai Air sedang uring-uringan berkolbu keriting. Kantor Bu Letin kosong, nol! Untung ada Raja Joke Darminto M Sudarmo. Aku dikasih tiket kopaja, lima batang rokok jarum coklat dan ‘sego kucing johar’ Terus? “Liput debat Presiden!”perintah Darminto.

Berikut laporanku tanpa suntingan sana-sini oleh Redpel Kardi Syaid.

Kelir membentang panjang dipilari jejer wayang poyang-payingan. Patung Pancasila berada di tengah kelir. Tak jelas kelamin burung garuda itu jantan atau betina. Tapi, konon, sejak adanya burung Gerindra Prabowo, kepala burung Garuda itu kerap manggut-manggut penuh nafsu. Tidak dijelaskan juga, apakah nafsu untuk berantem atau untuk bersenggama. Yang pasti ruang debat iu ditata dalam konsep ‘The Dark Indolence Indonesia’

Sang Moderator mengenakan sarung motip mega mendung cirebonan. Kenapa pakek sarung? “Ini agar Burung Garuda dan Burung Gerinda ngerti betul bahwa dalam kehangatan dan kelonggaran sarunglah pesona Indonesia akan bertebaran hingga ke manca negra. Bandingkan kalau pakek celana panjang ketat gaya Eropah, Burung Garuda akan terjepit, tidak bisa bergerak, lecek, mingslep, meratap sukma. Emang sih, agak sedikit lega, apabila sang pemiliknya, sekali dalam lima tahun, melaksanakan kencing. Kancing dibuka, kencingpun kencang berlari.

”Apa artinya? Inilah inti demokrasi khas sarung!” ucap sang moderator yang di dahinya ada stempel warna hitam sujudi bernama Diding Karyadi.
Tak jauh dari Diding Karyadi terlihat tiga kandidat pesinden yaitu Susilowati, Megawati dan Kalawati. Pesinden nan tiga itu dipastikan berwajah Indonesia. Susilowati, misalnya, terlihat lembut, ada andeng-andeng di dahi sebelah kirinya, tutur tinularnya begitu pelan, ragu tapi terarah. Tiap kali kehilangan kata, matanya kerap melihat ke atas.

Akan halnya Megawati, berwajah keibuan yang melancholis. Andeng-andeng di dagunya menyiratkan rindu surga ada di Indonesia. Matanya nyanyikan sunyi yang jauh. Gerakan tangannya menyiratkan keprihatinan nasionalisme.

Kalawati? Wow! Ini cewe cerewet yang kenes, cerdas, langsing, mengingatkan aku pada Putri Guri Lawang dalam mitos Cirebon Kuno. Konon, siapapun yang menjadi suami putri Guri Lawang, dijamin akan selalu menyediakan gas oksigen di samping tempat tidurnya.
Baiklah, berikut pemaparan masing-masing kandidat.

SUSILOWATI: Kalau saya diberi amanah menjadi pesinden Indonesia, maka akan saya tembangkan lagu-lagu pop cendekia yang enak didengar, enak dilihat dan enak dimakan. Indo Mie itu enak dilihat loh. Juga enak didengar…’indomiiiiii, presidenku.! Juga enak dimakan. Kenapa? Harganya murah…

MEGAWATI: Loh! Piyo toh sampeyan itu. Wong rakyat suka dibohongi. Iklan di televisi yang namanya indo mie itu ada ayamnya, ada telornya ada irisan tomatnya. Rakyat jadi ngiler. Lah pas dibeli di warung, ga ada ayam, ga ada telor, ga ada irisan tomat. Yang ada ya hanya mie keriting ngeringkel tok! Makanya jangan bohongi rakyat dengan iklan.

KALAWATI: Maaf diajeng Susilowati, maaf. Sebagai orang yang berbudi dan bertatasusila yang baik, maaf diajeng, maaf, sebaiknya tidak menyanyikan lagu yang mendayu-dayu …’indomie presidenku,’ Tapi diakhiri dengan bentakan kalimat ‘lanjutkan!!!’ Ini mengagetkan para pemirsa televisi. Maaf, diajengm maaf. Yang tadinya rakyat Indonesia merem-melek mendayu-dayu, mendadak bangun saat maaf diajeng maaf, ada bentakan “Lanjutkan!!!!”

MEGAWATI:Wong sudah habitatnya. Dirayu-rayu diakhiri dengan bentakan.

DIDING: Stoppp dulu. Barangkali Susilowati mau buat sanggahan?

SUSILOWATI: 231 juta rakyat indonesia pasti punya mimpi. Sebagai pesinden harus menyanyikan lagu-lagu agar impian-impian itu terjadi pada saat rakyat Indonesia tertidur. Namanya saja mimpi yah harus mimpi yang enak-enak. Mimpi makan ayam, mimpi makan telor, mimpi makan rendang. Lantas agar tidak larut dalam mimpi maka perlu bentakan ‘Lanjutkan!!!!” Itu agar rakyat tahu bahwa semua itu hanya mimpi…

DIDING: Waktu habis. Sekarang Megawati.

MEGAWATI:Begini ya Pak Moderator. Kalau saya jadi pesinden, maka saya akan nyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Dimana Indonesia itu dibangun atas dasar substansi kebangsaan itu sendiri. Ibu pertiwi dimana banyak hal yang pernah berjuang untuk menegakkan UUD 45 dengan tetesan darah daripada subsantansi para pejuangangnya. Sebagaimana contoh 1908, 1928, 1945 banyak hal yang dapat dijadikan contoh. Soalnya lagu-lagu kebangsaan itu substansinya akan membangkitkan semangat menjadi mandiri. Jadi kerakyatan yang mandirilah…

SUSILOWATI:Saya setuju dengan diajeng Mega. Rakyat kita perlu mandiri yang dinaungi lagu-lagi heroisme, patriotisme dan tembang kebangsaan. Sebagai pesinden kita semestinya menyanytikan lagu-lagu itu. Maka jadilah orang yang memiliki semangat kebangsaan bukan semangat pedagang..

KALAWATI: Maaf diajeng, maaf. Kalimat itu tidak etis untuk diucapkan. Etos pedagang itu sangat perlu. Sebagai pedagang harus tidak ragu bertindak cepat. Maaf, diajeng, maaf. Diajeng suka ragu. Diajeng masih berpikir begini begitu, sementara orang lain sudah bertindak cepat, segera dan sukses. Artinya, maaf diajeng maaf, pesinden yang ragu untuk menyanyikan sebuah lagu pada akhirnya akan menghasilakan apa yang disebut ketidakpastian. Tapi saya sependapat dengan diajeng Megawati.

DIDING: Waktu habis. Barangkali Megawati mau mengklarifikasi.

MEGAWATI:Baik Susilowati maupun Kalawati esensinya sependapat dengan saya, jadi secara substansial saya yang benar.

DIDING: Kini giliran Kalawati

KALAWATI: Kalau saya menjadi pesinden saya akan nyanyikan lagu-lagu dangdut jazz! Kenapa? Karena dangdut itu menyegarkan, menghibur dan luar biasa. Ingat, 8 dari 5 warga Indonesia suka dangdut. Tapi agar bisa dimengerti bangsa-bangsa lain, yah kita modifikasi dalam format jazz!

Mendadak Susilowati dan Mega mendekati lebih dekat lagi Kalawati. Diding tampak bingung. Apalagi saat Kalawati menyanyikan lagu Fatwa Pujangga karya Said Effendi

T'lah kulihat iklanmu berlalu
Penuh sanjungan kata merayu
Syair dan pantun tersusun indah, sayang
Bagaikan madah fatwa pujangga

Tapi sayang sayang sayang
Seribu kali sayang
Ke manakah pilihan
Nak kualamatkan

Bandung, 3 July 2009
Tandi Skober adalah penulis novel “Pelacur, Politikus dan He He He “




Telor Calon Suami, One Day in Your Live


Oleh Tandi Skober


“Jangan tulis politik,” itu SMS cuti Pemred Foeza Hutabarat. “Edisi Ahad mesti ringan dicerna,”itu SMS hunting Redpel Kardy Syaid. “Gw mo bobo selahat bareng Mikhael Jackson,” itu SMS resah sekretaris redaksi Reni Teratai Air. “Aku lagi kelangan kelingan kenangan sing ilang,” itu SMS kasamaran Pemimpin Umum Darminto M. Sudarmo. Aku? Tepojok di sudut gelap membolak-balik berkas opini yang masuk. Akhirnya aku temui klipng berita seputar kisah kasih tak sampai gara-gara telor calon suami.

Medan, Padang Bulan, 31/4/1980, Bu Letin
Cintaku pada Derisna tak akan lekang hilang ditelan zaman. Pagi itu, aku jadi temanten diiringi Coking Susilo Sakeh,YS Rat, Izharry Agus Jaya, AA Bungga, Nina Zuliani, AS Atmadi, Damiri Mahmud, NA Hadian, D Rifai Harahap, Idris Pasaribu, Atok Ai, Sugeng dkk melangkah menuju pesta nikah di rumah temanten wanita di Pandang Bulan, Medan.

Mataku penuh cinta memandangi mempelai wanita bernama Derisna itu. Derisna baru saja lulus SMP. Aku sudah bekerja di Kantor Perbendaharaan Negara Medan usai lulus SMEA. Ketika Aminuddin Anhar bertanya, “Kenapa kawin muda?” Aku bilang,”Aku sudah mimpi basah. Daripada tiap malam mimpi basah sekalian saja mandi basah.” Ini pas banget dengan ucapan ustad A Rahim Qahhar bahwa kawin muda itu mencegah perbuatan keji yang tak terpuji. Terlebih lagi LSI (Lembaga Sex Indonesia) menyebut angka 7 dari 10 pria berusia antara 20 s/d 25 tahun yang belum beristri, setiap kali mandi menghabiskan waktu lebih dari 23 menit dibandingakan dengan yang sudah beristri yang hanya membutuhkan waktu hanya 13 menit.

Rombongan pengantin pria disambut adat Jawa Deli ‘Sawer Jaran Guyang” ditimpali gamelan pujakesuma pimpinan Choking Susilo Sakeh “Bendrong Alon Centhini Itil” Seorang pesinden buruh pabrik sawit lemah gemulai tetembangan “Yen Bulan Ndadari”.

Mataku tak jua berhenti memandangi Derisna. Ia mengenakan kebaya putih, sarung putih berhiaskan melati putih. “Nikah itu sesuatu yang suci ya Kang Tandi,”suaranya lirih saat aku pastikan bahwa hanya Derisna yang dari kemaluannya akan nongol anak-anakku, kelak. Ah! Derisna tersenyum. Senyum yang mengingatkan aku pada lengkung pelangi, usai germis senja membasahi tanah gelisah Padang Bulan, Medan, Sumut.
Aku dan rombongan kini berhenti di depan pelataran rumah Derisna untuk mengikuti prosesi injak telor. “Injak telornya slow motion ya, “ucap Idris Pasaribu juru potret Skh. Analisa merangkap calo karcis bioskop Mayestik Medan”Itu agar aku dapat gambar kaki kau!”

Aku mengangguk hormat.

Syarifuddin Dalimunthe dari pihak mempelai wanita bercerita tentang kandungan falsafah dari prosesi ‘injak tel;or’ itu. “Kenapa yang diinjak telor, bukan kerupuk atau rempeyek? Itu karena dalam telor banyak kandungan gijinya. Seperti tertulis dalam UUD 1945 pasal 7 ayat 2 bahwa diwajibkan atas kamu memakan telor setengah masak sebelum kamu menggasak-nyogok istri-istri kamu. Sementara pasal 8 ayat 9 menjelaskan bahwa para pria yang tidak memiliki dua telor di trijilannya dipastikan termasuk katagori pria terkebiri. Pria jenis ini, seperti termaktub dalam pasal 24 ayat 3 dipastikan mandul. Inilah esensi dari prosesi injak telor.”

Kamipun tepuk tangan. Derisna melihat di bawah pinggangku. Aku meraba anuku. Hmm, ternyata dipastikan aku bukan termasuk jenis pria seperti termaktub dalam pasal 8(9) dan pasal 24(3) UUD 1945.

Di depan kakiku, kini ada sebutir telor di atas talam berwarna putih. Mempelai perempuan duduk membawa ceret antik berisi air. “Seperti djelaskan dalam UU Perkawinan pasal 9, diharuskan mempelai pria menginjak telor dan mempelai wanita membersihkan kaki suaminya dari isi telor itu degan seceret air kembang tujuh warna,”sambung Syarifuddin Dalimunthe,” Maka atas nama kisah-kasih Tandi-Derisna, acara injak telor dimulai!

Derisna tengadah memandangku, tersenyum. Oh! Bibir itu, sekali tempo, pernah ingin aku cium. Tapi ia menolak halus, “Kisah kasih kita, Kang Tandi. Harus seputih telor. Meski warna merah dan putih ada dalam satu telor. Tapi tetep ada barzah! Ada batas yang tidak bisa mencampurnya warna merah dan putih. Kelak, saat kita resmi menjadi suami istri, jangankan bibir atas bibir bawahpun sudah milik kang Tandi,”ucap lirih Derisna.
Maka telapak kakiku menginjak telor.

Telor pecah! Dan? Ternyata dalam telor sudah ada ‘pitik’nya. Telor bungker!

Aku kaget! Derisna kaget! Rombonganku juga kaget!

“Batalkan pernikahan!”teriak Choking.

“Gila! Ini pelecehan!”teriak Sugeng.

“Ini sebagai isyarat bahwa mempelai wanita sudah hamil!”teriak Izharry Agusjaya.

Aku ditarik ke belakang oleh R Mulia Nasution. “Apakah abang sebelumnya pernah menggauli wanita itu?” tanya Mulia.

“Loh ya ndak lah! Wong ciuman saja ga pernah.”jawabku jujur.

Idris Pasaribu langsung tolak pinggang.

“Nikah gagal!”

Syarifuddin Dalimunthe marah besar. “Ini soal teknis! Juga tidak diatur dalam UUD 1945 maupun UU Perkawinan bahwa penikahn dianggap tidak sah dan gagal apabila telor yang diinjak ada pitiknya. Telor bungker!”

“Pukimak semua! Bubar! Bubar! Pulangggggg!” teriak rombongan mempelai pria.

Derisna menangis, pingsan!

SEPI menepi di kaki langit.

Aku tulis gelisahku di lintasan angin.

“Dinda Derisna, sampai saat ini, aku tidak pernah bisa memaafkan diriku sendiri. Pada saat aku membeli telor itu, agar hemat, sengaja aku beli telor yang bungker. Lebih murah dibandingkan telor yang baru ditetaskan…….”

Bandung,5 July 2009 @ 09:43:01


Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates