TAHUN 1980-an, Jaya Suprana menjadi pembicara tunggal seminar “Musik Humor, Humor Musik” di Yayasan Pendidikan Musik Jakarta, pimpinan Rudy Laban. Pertemuan ini dihadiri kalangan terbatas, di antaranya almarhum Adidarma, pianis Iravati M Sudiarso, Chaerul Umam, Arwah Setiawan, dan sejumlah peminat lain.
Ada yang menarik dari seminar itu, bukan saja cara Jaya Suprana mempresentasikan materi dan mengolah alat bantunya yang multimedia (kartun, slide projector, video, audio, dan lain-lain) namun juga wawasan persoalan yang ditawarkan dan elemen-elemen kunci sekitar musik humor dan humor musik yang diasumsikan sebagai batasan (sementara).
Humor musik dan musik humor, apa ada bedanya? Menurut Jaya, humor musik, terbatas mengacu pada pemahaman historis dan sosiologis, yakni, aspek tentang sejarah dan riwayat yang berbau humor (lelucon) tentang musik bahkan musikusnya. Musik humor, mengacu pada penawaran isi dan bentuk musik (musikusnya?) yang berbau humor, yang meliputi syair, nada, instrumen, kostum, properti, bahkan performing-nya.
Hampir seluruh contoh yang diberikan Jaya suprana terjadi di Barat, baik soal humor musik maupun musik humornya, soal Surprise Symphony-nya Joseph Haydn maupun jemari-jemari ampuhnya Glen Gould, yang memerlukan direndam di pasar panas sebelum ia beraksi di pertunjukan.
Fenomena Slamet
Bagaimana dengan humor musik dan musik humor di Indonesia? Apakah sama sekali tak ada gosip yang pantas diangkat ke permukaan? Setidaknya ada beberapa fenomena menonjol yang terjadi di negeri ini, mungkin saja mengindikasikan suatu lintasan perjalanan musik humor di Indonesia.
Bermula dari empu musik eksperimental, Slamet Abdul Syukur, salah seorang di antara sekian biang yang merasa pengap pada “doktrin” musik impor yang terus menerus menjajah. Ia mencoba lepas dari kepengapan itu lalu mencari bentuk pengucapannya sendiri. Tak heran bila gerakan yang dilakukan Slamet, pada awal gebrakannya menimbulkan isu riuh. Ia memperlakukan piano tidak sebagaimana seorang pianis, begitu juga terhadap instrumen lain.
Ulah itu mengakibatkan efek tak terduga, nada-nada aneh. Ada suasana estetik tak lazim. Ia juga memperlakukan tempo dengan pendekatan lain. Bahkan pada pentas Suita di Gedung Kesenian Jakarta, ia cukup menggunakan mulut untuk melahirkan ekspresi nada-nadanya yang unik dan punya ikatan akar dengan tradisi primitif.
“Keberingasan” Slamet adalah revolusi konsep. Tapi apa hubungannya dengan musik humor? Didasari atau tidak, ia terlanjur menjadi inspirator bagi revolusi estetika, bahkan logika, dan di situlah konsepnya sengaja atau tidak terkait dengan kebutuhan humor. Dalam humor terdapat kewajiban, menggeliat dari estabilisme dan menggali peluang baru. Kewajiban melaksanakan hukum ini bahkan cenderung terkesan “sadistis”; sehingga pengulangan atas ide yang pernah “diproklamasikan” sebelumnya, dianggap sebagai kemandulan dan kemiskinan.
Periode selanjutnya, kalau kita mendengar nama Harry Roesli dengan geber-geberan musik kontemporernya yang unik, atau Sutanto (Mendut) yang mengubah disiplin instrumen dan penyiasatan elemen, dan lain-lain musikus yang sepaham dengan atmosfer Slamet, persoalan yang menjadi isu selanjutnya adalah apresiasi dan upaya mengkomunikasikan konsep-konsep musik eksperimental.
Ini mungkin tak mengenakkan hati. Dampaknya, musik humor Indonesia hanya menumpang kredo musik eksperimental. Faktanya, hingga kini belum ada musikus yang berdiri dengan konsep dan bendera humor, dengan target menyuguhkan musik humor yang lucu dan bermutu.
Fenomena Pop
Sementara itu, di belahan dunia musik pop, permainan musik humor masih saja bergerak dari jurus stagnan ke stagnan. Belum muncul kompleksitas elemen yang kaya tekstur dan warna. Ada kalanya, banyak yang terjebak dan menjebakkan diri pada pengandalan permainan syair lucu atau mengkritik-kritik. Pada kala yang lain, cuma bermain di penampilan dan “dramatisasi” yang mubazir.
Itu dilakukan “insan musik humor” Remy Sylado, Iwan Fals, Doel Sumbang hingga Gombloh. Belum banyak permainan yang bisa memenuhi kriteria revolusi nada, aransemen, instrumen, kostum, dan properti. Tak terkecuali Bing Slamet, Dul Kamdy, Tris Sakeh, Benyamin S, Ria Enes, hingga Oppie. Untunglah, niat bermusik mereka bukan dalam konsumsi musik humor.
Mengidamkan musik humor yang memenuhi kriteria kaya elemen dan tekstur sebagaimana yang disebutkan Jaya Suprana, masih menjadi ilusi. Bahkan ketika masyarakat kaget bercampur penuh harap dengan munculnya musikus besar seperti Ki Nartosabdo yang kaya tawaran dan auranya berlumuran humor, lagi-lagi kita dihadapkan pada pilihan lelucon syair. Gending-gending dolanan, memang diisyaratkan untuk sekadar menjadi pelipur lara. Tak layak berharap terlalu “muluk” untuk memenuhi kesadisan hukum humor yang tak kunjung terpuaskan dahaganya itu.
Sementara itu, gebrakan Basiyo lewat Pangkur Jenggleng-nya yang menggelitik dan memiliki syair kuat, posisi musiknya tetap saja menjadi elemen pelengkap. Lain lagi ulah Djunaedi CS. Pada salah satu episode kasetnya ia pernah nyaris menghadirkan musik humor yang cukup kaya dan menggelitik. Ada permainan logika nada. Ada dekonstruksi instrumen dan lain-lain. Namun bagian itu tidak diperdalam dengan serius. Djunaedi memang tidak melawak lewat musik. Akibatnya “keunggulan” itu cuma menjadi letupan kecil di antara kesenyapan yang panjang.
Fenomena Suku Apakah
Sampailah waktu pada perjalanan Suku Apakah, sebuah kelompok musik asal Surakarta yang muncul pada tahun-tahun terakhir ini. Semua anggotanya masih kuliah di UNS 11 Maret. Konon kelompok musik asal kampus ini sudah merupakan generasi keempat dan sudah ratusan kali mengadakan pertunjukan.
Ada yang menarik dari Suku Apakah yang selain berani mengibarkan bendera sebagai kelompok musik humor, juga telah membuktikan kelainan dan keunikan konsepnya dari sekadar permainan syair dan penampilan.
Jurus utama kekuatannya ada pada parodi. Ada memang jejak konsep Pancaran Sinar Petromaks maupun orkes Pengantar Minum Racun; yang pada masanya sempat memporakporandakan lagu Kidung dan heboh. Namun Suku Apakah menggeliat lebih ke rinci, bukan saja ke tubuh tapi juga ke jiwa musik, ke elemen-elemen yang belum tergarap sebelumnya.
Seiring dengan riuhnya semangat plesetan, Suku Apakah juga menerapkan konsep plesetan itu baik ke syair, lagu, maupun ke celah-celah yang sangat rumit sekalipun. Ini bisa terselamatkan karena tiap personelnya menguasai teknik secara baik.
Jurus plesetan itu tergarap rapi dan dipersiapkan, terutama ketika dibawakan dalam pertunjukan yang sebenarnya. Ketika Suku Apakah mencoba bermain di studio rekaman, apalagi membawakan karya-karya ciptaan sendiri, misalnya dalam album Mince (bukan bentuk parodi), spontanitas dan kenakalan yang biasanya menggemaskan itu sangat menakjubkan, kehilangan rohnya. Benar-benar tak terduga.
Pada era yang hampir bersamaan dengan keunculan Suku Apakah (informasi tambahan-dms), sebuah kelompok di bawah pimpinan Jadug Ferianto, mendeklarasikan musik keroncong bernuansa humor yang kemduian dirilis dalam album bertajuk KateBe, lumayan menggelitik dalam hal isi dan tawaran gagasannya, namun secara pemasaran, musik Jadug tersebut seperti tenggelam dalam arus besar industri musik pop yang lagi digandrungi publik ketika itu.
Di kemudian hari, tahun 1998, saya sempat berbincang dengan Jadug, Butet Kartaredjasa dan beberapa teman lain di Yogyakarta. Dalam pertemuan itu saya mencoba menyampaikan kepada mereka, bahwa materi musik di KateBe yang sebenarnya lumayan bagus itu, sayang bila tak diangkat lagi dalam format yang kira-kira punya spirit sejenis; karena secara faktual, belum banyak masyarakat yang berkesempatan menikmatinya. Bila saya tak silaf, beberapa waktu sesudah itu, Jadug dkk. mendeklarasikan kelompok musik keroncong ndugal-nya dengan nama Sinten Remen; secara tersurat dikatakan, bahwa sebagian dari materi musiknya bersifat daur ulang.
Upaya tersebut sungguh menggembirakan. Tetapi saya sungguh tak pernah mengerti, mengapa publik kita, mungkin para remajanya, sepertinya jengah banget mendengar kata keroncong, sehingga kehadiran Sinten Remen, hanya melekat di publik penggemar musik tertentu. Padahal, di dalam musik keroncong Jadug itu kita disuguhi tawaran-tawaran tema lagu, syair dan aransemen yang cukup menggelitik.
Apa boleh buat, itulah yang terjadi dengan musik humor kita. Jadilah, kerinduan yang semula tumbuh itu kini digerogoti kecemasan lagi, jangan-jangan musim kemarau pun akan segera tiba. Sungguh senyap dan sepi bila keadaan itu benar-benar terjadi.
Darminto M. Sudarmo, Penulis dan Pengamat Humor.
Catatan:
Artikel-artikel yang di-posting di halaman ini adalah tulisan Darminto M. Sudarmo (sebagian menggunakan nama samaran: Atin Supriyatin) yang telah dimuat di berbagai media daerah maupun ibukota antara tahun 1982 hingga 2004. Demi kelengkapan dokumen dan kajian humor, sebagian dari materi itu perlu disertakan agar pembaca mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang kronologi persoalan dan historisnya.
Tidak menutup kemungkinan, bila dalam perjalanan waktu ada wacana-wacana menarik tentang kajian humor mutakhir, tidak menutup kemungkinan pengelola blog akan memprioritaskan masalah tersebut agar dapat dikaji bersama-sama. Dan segera, tentu saja. Selengkapnya, lihat “Rujukan atawa Referensi” di halaman bawah.
The Past, The Now (Present), and The Future
-
Oleh *Danny Septriadi*
Saya teringat awal mula mengumpulkan buku-buku tentang humor terbitan dalam
negeri pada tahun 1987-an. Kemudian tahun 1990-an mu...
6 years ago
0 comments:
Post a Comment