SAYA merasa beruntung, dapat menikmati masa kecil yang indah dan bertabur kesenian di sekitar kampung saya. Tiap hari paling tidak mendengar alun gamelan dan suara nyi pesinden yang mendayu-dayu menggetarkan sukma. Dalam seminggu atau setengah bulan ada saja acara kesenian Jawa, wayang orang, wayang kulit, latihan menari, dan lain-lain.
Dan wayang, termasuk salah satu kesenian yang telah mengakar dalam persepsi kanak-kanak saya, kemudian tumbuh secara pelan tapi pasti menuju ke tahapan apresiasi. Lalu meloncat dalam fase kreasi, lalu mengantar ke arah peleburan yang sesungguhnya; yakni perasaan memiliki kewajiban untuk: merawat, memiliki, dan melestarikannya.
Di masa kecil yang manis itu, banyak muncul dalang cilik, yang merasa sah membawakan lakon, meski dengan gamelan mulut dan wayang dari daun sirsat yang telah dihilangkan lapisan luarnya. Atau gambar-gambar wayang yang tercetak di kertas. Bahkan tak kurang pula dari mereka ada yang sungguh-sungguh sanggup berperaga membawakan lakon dan wayang sungguhan. Ditanggap orang dan laris. Penonton gempar.
Masa kini, berapa banyak orang tua (ayah) yang berminat “ura-ura” sambil menggendong anaknya di malam terang bulan. Atau tiduran di bale-bale sambil membawakan suluk, atau sekadar mendalang, membawakan sepotong dua potong lakon.
Pada hemat saya, jauhnya apresian wayang yang semakin mengkhawatirkan terutama sekali karena lemahnya pembinaan kader apresian sejak dini mula. Bagaimana mereka bisa suka wayang jika sejak kecil cuma kenal bioskop, kaset lagu-lagu barat, ndang-dut, pop yang rupanya tepat porsi dalam mewakili idealisme dan eksistensi mereka. Energik, lincah dan genit!
Dan gending-gending Jawa? Buat mencapai rasa greget di daerah pedalaman yang memerlukan penghayatan intens dan penikmatan khusus, tentu tak terjangkau oleh mereka yang tak pernah meniti untuk lebur dalam suasana gending Jawa, apalagi dalam kondisi pamor gending Jawa itu menduduki nilai yang amat lain. Setidaknya bagi mereka yang merasa ada jarak.
Upaya Pintas
Jika kehadiran wayang mbeling salah satunya diasumsikan sebagai upaya untuk menjerat perhatian generasi muda agar tak tercipta jarak, mestinya sah saja. Namun upaya ini sesungguhnya cuma mampu memenuhi lapis permukaan. Tak beda langkah “schock therapy” yang diterapkan penembak misterius pada para gali (preman) guna memberantas kejahatan. Ada kesan pintas dan memaksa, karena kekurangmampuan sistem.
Itulah akhirnya kita cuma menemukan alternatif, lebih baik terlambat darpada tidak sama sekali?
Wayang Mbeling dan Mbeling dalam Wayang
Dua sifat global perangai dunia, serba kontradiktif. Siang-malam, sedih-gembira, tragedi-komedi, sembarangan-serius atau mbeling-serius. Kenyataan ini sah terjadi dalam setiap kesempatan. Keduanya punya hak untuk hadir.
Kalau kehadiran wayang mbeling disambut dengan apriori atawa gempuran kritik karena dianggap menodai pakem dan keseriusan yang sekian lama telah dipertahankan, dilestarikan; tentu anggapan ini kurang adil, prasangka sepihak; kurang membaca fenomena zaman yang senantiasa butuh gerak dan perubahan. Sebab bila sejak dini tangguh menanam kader apresian, maka kehadiran wayang mbeling bukanlah sebuah benalu yang siap menggeragoti tuan rumahnya. Dia akan berdiri dalam status antiserius. Atau masuk dalam wilayah daerah tersendiri; yang sesungguhnya sudah ada, yakni wadah humor.
Pernah grup lawak ibukota membawakan lakon Jayaprana Layonsari. Tentu saja dengan lenggang dan improvisasi humor, ini pun juga dianggap sah. Grup lawak itu tak menyalahi pakem yang tumbuh dalam benak penikmat; yang rata-rata sudah kenal bagaimana kisah itu sekian lama hidup dalam ingatan masyarakat.
Kemungkinannya juga akan sama bila sebuah grup lawak, atau katakanlah kelompok teater, membawakan drama Prahara-nya Shakespeare dalam versi mbeling. Sebab nantinya toh orang akan menilai bagaimana kelompok itu mampu memparodikan kisah tersebut. Tuntutan penonton tentu pada gemuk-kurusnya lelucon atau humor yang ada dalam pementasan itu.
Dengan demikian, bukan berarti para kreator yang memasuki dan bergerak di wilayah mbeling atau humor akan lepas dari tanggung jawab karya. Lepas dari “kerja” kreasi. Dalam mbeling itu ada mbeling yang baik, dan ada juga yang kurang baik. Ada yang kuat ada yang lemah. Bukankah olah kreasi, juga olah kerja seniman yang sah, butuh ide atau gagasan dan inovasi.
Semua yang terurai di atas itulah yang disebut wayang mbeling. Lalu mbeling dalam wayang itu yang bagaimana?
Sering mendengar Pak Narto Sabdo (satu-satunya dalang yang saya kagumi) mendalang bukan? Nah, jika Anda cermat maka Anda pasti menjumpai ke-mbelingan-nya yang benar-benar mbeling. Dalang mana berani menghumorkan Duryudono, raja Astina yang terkenal serius dan angker itu, kalau bukan dia. Saya pribadi berpendapat situasi yang dibentuk Ki Narto Sabdo, dalam memainkan tokoh-tokoh wayangnya sangat hidup dan “manusiawi”; eh, wayangawi.
Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.
Catatan:
Artikel-artikel yang di-posting di halaman ini adalah tulisan Darminto M. Sudarmo (sebagian menggunakan nama samaran: Atin Supriyatin) yang telah dimuat di berbagai media daerah maupun ibukota antara tahun 1982 hingga 2004. Demi kelengkapan dokumen dan kajian humor, sebagian dari materi itu perlu disertakan agar pembaca mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang kronologi persoalan dan historisnya.
Tidak menutup kemungkinan, bila dalam perjalanan waktu ada wacana-wacana menarik tentang kajian humor mutakhir, tidak menutup kemungkinan pengelola blog akan memprioritaskan masalah tersebut agar dapat dikaji bersama-sama. Dan segera, tentu saja. Selengkapnya, lihat “Rujukan atawa Referensi” di halaman bawah.
The Past, The Now (Present), and The Future
-
Oleh *Danny Septriadi*
Saya teringat awal mula mengumpulkan buku-buku tentang humor terbitan dalam
negeri pada tahun 1987-an. Kemudian tahun 1990-an mu...
6 years ago
0 comments:
Post a Comment