Humor itu apa sih? Jujur aja, secara tradisi kita hanya mengenal humor sebagai lelucon. Lalu lucu itu apa? Pak Teguh (Srimulat) bilang, lucu itu aneh; Arwah Setiawan (nenek moyang peneliti humor Indonesia) bilang begini begitu; Freud bilang begini begitu; Arthur Koestler (penulis buku babon /mainstream tentang kajian humor berjudul “The Act of Creation” yang paling lengkap dan awal) juga bilang humor itu begini begitu.Pada titik keputusasaan orang mencari jawab tentang humor (karena demikian rumit dan supercomplicated), akhirnya mereka dengan skeptis bilang, ya sudah, biar aja, setiap orang boleh-boleh saja mau nyebut humor itu begini atau begitu. Sehingga, anda pun, kalau punya argumen yang jelas dan mampu mempertanggungjawabkan kepada publik, boleh saja anda ciptakan teori tentang humor, menurut versi anda.
Kenyataannya setelah Arthur Koestler meninggal, ramai orang menulis teori tentang humor (di barat sana, di sini mah kagak), dan seperti kata teman Aussie saya (Rolf Heimann) yang memang udah menyantap hampir seluruh buku teori tentang humor akhirnya cuma bisa bilang, “Heran deh, buku judulnya aneh dan bagus-bagus setelah dibaca kok isinya yang satu ngutip yang lain, yang lain ngutip yang satu…jadi ya begitulah….”
Tapi tak apa, toh pada situasi kontemporer ini, pengembangan yang terjadi ternyata juga menghasilkan derivasi-derivasi (cabang ranting) baru di seni humor itu sendiri. Dan peta yang saya sodorkan ini sekadar menyegarkan ingatan anda saja agar ada gambaran, bahwa makhluk yang bernama humor itu ternyata begitu toh….
Alkisah, di zaman baheula, ketika pola pikir masyarakat masih didominasi cara berpikir mitis (berdasarkan mitologi), dunia pertunjukan kesenian (mungkin juga kehidupan sehari-hari) dibagi menjadi 2 (dua) saja. Pertama tragedi; yang kedua, komedi. Gampangnya ngomong, tragedi urusannya sama yang nangis-nangis dan bersedih-sedih; komedi urusannya sama yang senyum-tawa dan bergembira ria. Di zaman itu pula, para ilmuwan kala itu juga menemukan kesimpulan bahwa orang yang kecenderungannya suka ketawa dan gembira, ternyata di dalam tubuhnya diketahui dominan cairan merah (cairan ini namanya humor); sedangkan yang penyedih, dominan cairan warna hitam, disebut melankolia — tentang cairan ini menurut mereka ada yang lain juga: kuning dan putih. Lha apa urusannya dengan cairan warna merah yang waktu itu disebut humor itu?
Inilah yang bikin kaget orang sekarang. Humor yang semula berarti cairan itu ternyata sekarang diartikan lelucon; nah, ajaib, kan? Karena ajaib itu maka Jaya Suprana, salah seorang humorolog kita, membuat tesis berjudul “Metamorfosa Makna Humor dari Cairan Menjadi Lelucon” (ini kalau tidak salah ingat, soalnya hapalan di dalam kepala, kalau di luar kepala itu mah namanya nyontek catatan atuh, he he he!).
Humor sebagai energi budaya yang merupakan Induk dari Seni Humor itu ternyata beranak-pinak dan bercucu-cicit segala. Upaya saya membuat Peta Humor di bawah ini adalah mencoba memberi gambaran umum duduk-berdirinya perkara tentang hubungan dan silsilah “Nenek Moyang” Humor berikut keturunannya. Moga bermanfaat; seperti kata pepatah, tak ada gedung yang tak retak, tak semua warung jual martabak, sudilah anda berbagi pengetahuan agar yang tersesat bisa mendapatkan pencerahan.
Catatan:
Di Indonesia, berbagai peran yang terlihat di relasi humor di atas
lazim juga dilakukan oleh satu orang; misal si X selain kreator
juga pemain dan eksekutor. Ini berbeda dengan tradisi kerja tim
di barat sana yang tiap individu menuju ke spesialis.
0 comments:
Post a Comment