Headlines News :
Home » , , » Cerita Jenaka Imam Tantowi

Cerita Jenaka Imam Tantowi

Written By Admin on Friday, October 9, 2009 | 4:58 PM

P E N I P U

Oleh Imam Tantowi

Entah sudah berapa kali si Hakim nyaris digebuki oleh tukang pukul mas Sasongko karena ngemplang utang sampai puluhan juta. Bahkan pak Kardi hampir saja melaporkan si Hakim ke polisi karena hasil penjualan mobilnya di tilep lima juta. Tapi setiap bertemu dengan Hakim, hati orang-orang yang ingin menghukum Hakim, malah luluh. Bahkan mas Sasongko malah meminjami si Hakim seratus lima puluh juta karena tertarik pada proposal si Hakim untuk menjadi pengepul ayam kampung. Mas Sasongko memberi pinjaman modal langsung hari itu juga. Tentu saja teman-teman Sasongko heran, bahkan ada yang kesal.
“Proposalnya bagus kok. Profitable.!”

“Proposal buatan si Hakim memang selalu baik. Yang buruk itu pelaksanaannya. Pasti uang sampeyan bakal ditilep lagi…”
“Saya jerat lehernya, kalau berani dia menipu saya lagi” Kata Sasongko.

Kecemasan teman Sansongko ternyata terbukti benar. Hanya tiga kali si Hakim memberikan keuntungan dari bisnis ayam kampungnya, sesudah itu tidak pernah nongol lagi.
“Benar-benar setan ! Masih punya nyali dia menipu aku….” Sasongko marah besar. Dan Tukang-tukang pukul Sasongko sudah siap untuk mendatangi rumah si Hakim di sebuah desa nelayan yang tandus di pesisir lor.

Dijalanan menuju rumah si Hakim, Sasongko dan begundal-begundalnya bertemu dengan pak Kardi, juga pak Siregar yang juga mau mendatangi rumah si Hakim. Mereka bertemu di sebuah warung dipinggir jalan.

“Bapak juga mau ke rumah pak Hakim ?” tanya Sasongko pada pak Kardi.
“Orang itu harus dihajar. Dua kali saya kena tipu dia. ! Dulu nilep uang penjualan mobil, lima juta belum dibayar. Sekarang uang muka buat beli genset, dia bawa kabur” Pak Kardi berapi-api..
“Kok bapak masih percaya menitip uang muka sama dia ?
“Itu dia…. saya seperti kena sihir kalau mendengar dia bicara !”
“Aku lain lagi !” pak Siregar sambil menyeruput kopinya. “Dia mengasih persekot buat membangun satu bangsal, tiga ruangan. Dia bilang kalau bangunan sudah tuju puluh persen, dia mau lunasi. Ehhh… sudah selesai lebih dari tuju puluh persen, enam bulan belum juga disetor. Sebagai pemborong kecil-kecilan bangkrut aku…. Aku mau mengancam dia, kalau tidak mau melunasi, aku pidanakan dia ! Rasain ! Brengsek itu orang.
“Penipu ! Saya sengaja bawa tukang pukul untuk menghajar dia, kalau perlu biar tangan dan kakinya dibikin patah” Sasongko berang.

Pintu bangunan yang batanya masih telanjang belum dilepa itu ditendang sampai terbuka. Ketiga penagih hutang bersama anak buahnya tampak garang berdiri di tengah pintu.

Lebih dari lima belas anak kecil ketakutan, mereka berlindung di belakang si Hakim yang wajahnya selalu tersenyum. Kemudian menyuruh anak-anak kecil itu supaya tidak panik, lalu dengan ketenangan yang luar biasa si Hakim mendatangi para penagih hutang itu….

“Maaf… bisakah kita bicara baik-baik, biar anak-anak saya tidak ketakutan…?”
“Anak ? Kamu bilang masih bujangan ?! ”
“Mereka anak-anak saya, karena sudah tidak punya orang tua. Ada yang ayahnya tenggelam di laut karena perahunya ditelan ombak, ada yang dua orang tuanya tewas di Malaysia, waktu jadi TKI, bahkan ada yang ibunya mati kelaparan, sementara ayahnya kawin lagi dengan penari dombret… ”
“Jadi…?”
“Mereka anak-anak yatim yang perlu hidup, perlu pendidikan, sementara penduduk disini rata-rata nelayan miskin, saya tidak tega kalau mereka terlantar dan mati kelaparan. Maafkan saya telah mengecewakan amanah dari bapak-bapak. Saya berniat untuk mengembalikan semua uang bapak-bapak, kalau usaha keramba apung di hutan bakau itu berhasil. Terus terang uang pak Sasongko saya belikan jaring apung dan perlengkapannya, uang pak Kardi saya gunakan untuk biaya pembuatan dan perlengkapan lain. Saya memelihara ikan kerapu macan. Hasil dari keramba apung itu untuk membiayai Panti Asuhan dan sisanya saya tabung untuk saya cicilkan kepada bapak-bapak."
"Kenapa kamu tidak bicara terus terang ?"
"Saya takut bapak-bapak tidak akan memberikan"

Mas Sasongko dengan pak Kardi saling berpandangan, sementara pak Siregar menitikkan air matanya, bangunan yang ditempati kurang lebih dua puluh anak yatim itulah yang dia bangun dan sisanya belum juga diselesaikan oleh si Hakim.

“Saya tahu, hutang tetaplah hutang, harus dibayar. Itu kenapa saya catat di papan tulis, juga di buku besar panti asuhan sederhana ini, jumlah utang saya kepada pak Kardi, kepada mas Sasongko, juga sisa pembayaran bangunan kepada pak Siregar. Agar nanti, seandainya usaha saya gagal, dan sampai mati saya belum juga mampu membayar hutang kepada bapak-bapak semua, maka anak-anak asuhan saya insya Allah akan meneruskan usaha keramba apung itu sampai bisa melunasi utang-utang saya. Mereka tahu saya punya hutang.

Pak Kardi menunduk sambil menelan ludahnya yang terasa kering. Mas Sasongko menggigit bibirnya, sementara pak Siregar sambil terisak mengambil dompetnya dan memberikan separuh isinya kepada si Hakim….

”Terima ini. Ini zakat saya. Sisa bangunan ini tak usah kau bayar. Aku wakafkan buat panti asuhan”

Kali ini si Hakim yang tercekat lehernya. Terharu pada ketulusan pak Siregar……

Jakarta, 23 September 2009
Share this article :

0 comments:

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates