Headlines News :
Home » , » Catatan Kajian Humor Dua Dekade Terakhir, Berpiknik ke Wilayah Instrinsik

Catatan Kajian Humor Dua Dekade Terakhir, Berpiknik ke Wilayah Instrinsik

Written By Admin on Tuesday, December 9, 2008 | 8:47 AM


Oleh Darminto M. Sudarmo

Apa boleh buat; kajian humor mau diringkas dalam satu tahun terakhir, ternyata tidak ada wacana apa-apa; negeri ini memang demikian; suka makan kue tapi ogah repot bagaimana membikin kuenya; apalagi ribet soal ilmu tentang membikin kue. Naik motor, mobil, kereta, kapal laut, pesawat terbang, ya untuk mobilitas. Seni di balik otomotif, di balik semua transportasi darat, laut dan udara, mungkin menarik; tetapi yang lebih menarik lagi adalah soal bisnisnya. Mau apa lagi?
Kendaraan rusak sudah ada bengkel, semua transportasi sudah tersedia maintenance-nya. Mau romantik sedikit soal kendaraan dan mobil kuno, yang punya sejarah dan kenangan sangat pribadi atau tak tergantikan oleh apapun, tetap saja dianggap sebagai persoalan yang kurang kerjaan dan buang-buang waktu. Pola pikir prgmatis memang berpendapat demikian, tetapi bahwa ilmu tentang otomotif dan alat transportasi darat laut udara tetap harus selalu ada, itu diperlukan agar peradaban tidak punah. Humor juga.
Ia bukan soal lelucon dan kata benda saja. Karena ada humor yang dimaknai sebagai lucu yang berarti kata sifat. Ada humor sebagai terminologi yang ternyata memiliki sejarah perubahan makna cukup lucu; dalam bahasa Latin, humor berarti cairan, anehnya dalam perkembangan waktu terjadi metamorfosa makna yang sangat mengagetkan, menjadi berarti: lelucon, lucu, guyon dan sebagainya.
Situs Wikipedia memberikan gambaran humor secara umum sebagai berikut: Humour or humor is the tendency of particular cognitive experiences to provoke laughter and provide amusement. Many theories exist about what humour is and what social function it serves. People of most ages and cultures respond to humour. The majority of people are able to be amused, to laugh or smile at something funny, and thus they are considered to have a "sense of humour".
Lalu sense of humor itu apa? Mengapa orang dengan latar belakang pendidikan, pengetahuan, budaya dan lain-lain yang berbeda juga memiliki rasa humor yang berbeda pula? A sense of humour is the ability to experience humour, although the extent to which an individual will find something humorous depends on a host of variables, including geographical location, culture, maturity, level of education, intelligence, and context.
Setiap lapis strata, setiap lapis intelegensi , budaya, usia, konteks persoalan maupun geografi berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam mengapresiasi karya humor. Itulah mengapa ada kelompok masyarakat yang merasakan kelucuan dari humor jenis slapstick (kasar) atau bahkan baru ketawa setelah melihat karya humor yang sarat berolah logika.
Arwah Setiawan, salah seorang humorolog serius dan ketua Lembaga Humor Indonesia berpendapat, humor adalah sebuah gejala yang secara mental mendorong orang untuk ketawa. Ia membagi humor menjadi dua. Pertama humor tak sengaja, peristiwa yang lucu; dan kedua, humor yang disengaja, karya humor hasil kreasi manusia. Lepas dari itu, pada akhirnya berbagai tokoh di dunia juga membuat definisi humor yang ternyata berbeda antara satu dan lainnya.
Sementara para praktisi lebih melihat bahwa humor adalah sebuah energi budaya. Energi yang mengandung pengertian sangat rumit. Begitu rumitnya, sehingga ia sekaligus memuat rajutan yang bertali-temali antara kekuatan rasa dan intelektualitas. Menikmati seni an sich, biasa dilakukan orang dengan otak kanan; menikmati kehebatan dan ke-genuine-an gagasan atau konsep, dengan otak kiri; lha, dalam karya humor , dua wilayah itu bertemu dan ditemukan dalam suatu adonan yang kemudian berwujud sebuah sajian.
Dalam tahun-tahun dahulu kala (1980 ke 2000), di negeri ini cukup banyak terjadi event yang agak berbau “diskursus” tentang humor. Seminar tentang humor diselenggarakan di mana-mana. Di Semarang, Pertamor (Perhimpunan Pencinta Humor) lewat prakarsa Jaya Suprana , berkali-kali ia mengundang tokoh-tokoh penting untuk bicara tentang humor (lihat: SPA: Semarang Pesona Aneh-aneh di http://www.kolomhumor.com/) .
Sebelumnya di Jakarta, Arwah Setiawan lewat Lembaga Humor Indonesia, bukan saja menyelenggarakan berbagai seminar tentang humor, tetapi juga lomba musik humor, pentas seni humor yang diikuti pelawak atau grup lawak seluruh nusantara; dan tak terkecuali pameran karya humor: dari karikatur hingga humor multidimensi. Artinya, pada tahun itu, wacana tentang kartun instalasi (karya humor eksperimental) sudah ada mendahului berbagai pameran seni rupa modern atau instalasi yang sekarang tampak lagi marak dan jadi pusat pergunjingan estetika.
Senyapnya wacana tentang humor, justru makin terancam oleh bergugurannya media-media (majalah) tentang humor , ditambah belum lama ini KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) melarang sebuah talkshow yang berbasiskan host pelawak (Tukul Arwana/Empat Mata) yang memuat adegan kurang layak sehingga mengundang protes para penonton dari berbagai wilayah di Indonesia (lihat: Kontroversi Ruang Katarsis di http://lawakindonesia.blogspot.com/). Ada persoalan inti yang agak kurang sreg setelah menyimak aturan main yang diterbitkan KPI tentang acara TV, khususnya yang berkaitan dengan karya humor. Dari pasal-pasal dan ayat-ayat yang jadi rujukan, nyaris mengerucut pada persoalan etika; dan hampir tak ada yang mengakomodasi ke persoalan estetika, khususnya estetika seni humor; sehingga untuk acara seperti “Suami-suami Takut Istri” atau “Extravaganza” yang nyata-nyata berbasiskan komedi/humor, tetap diteropong dari kacamata acara sinetron pada umumnya.
Salah satu estetika seni humor yang belum diakomodasi adalah persoalan salah-benar. Tak ada salah dan benar dalam seni humor; yang ada adalah lucu tidak lucu atau baik tidak baik. Dan itu sebenarnya juga merupakan persoalan dalam dunia kreativitas pada umumnya.
Catatan yang ditawarkan para ahli ini mungkin menarik menjadi bahan pertimbangan untuk para praktisi dan peminat kajian humor pada umumnya, bahwa humour occurs when: an alternative (or surprising) shift in perception or answer is given that still shows relevance and can explain a situation. Sudden relief occurs from a tense situation. "Humourific" as formerly applied in comedy referred to the interpretation of the sublime and the ridiculous, a relation also known as bathos. In this context, humour is often a subjective experience as it depends on a special mood or perspective from its audience to be effective. Two ideas or things are juxtaposed that are very distant in meaning emotionally or conceptually, that is, having a significant incongruity. And one laughs at something that points out another's errors, lack of intelligence, or unfortunate circumstances; granting a sense of superiority.
Sekian, salam humor selalu.

Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.

Share this article :

0 comments:

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates