Headlines News :
Home » » Demokrasi Nilai dalam Estetika

Demokrasi Nilai dalam Estetika

Written By Admin on Sunday, December 7, 2008 | 12:41 AM

ISU tentang estetika dalam kesenian (seni rupa) di Indonesia, belakangan menjadi bahan pemberitaan cukup ramai. Salah satu tolok ukurnya, adalah munculnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang pernah dideklarasikan pada tahun 1975 dan oleh sesuatu hal lalu membubarkan diri pada 1979.
Satu hal yang tak terduga, kini semangat gerakan itu muncul lagi. Terekspresi pada pemerannya yang berlangsung dari pertengahan hingga akhir Juni 1987. Konsep yang ditawarkan, seperti menyiratkan kegelisahan serupa. Yakni semangat untuk menerobos kebekuan spesialisasi nilai. Yang dimaksudkan dari spesialisasi oleh gerakan tersebut tentu kubu atau penganut paham kebudayaan tinggi (high culture); yang selama ini meyakini, bahwa karya seni rupa masih berkutat antara: seni lukis (murni), seni patung, maupun berbagai ekspresi yang sejenis.
Batasan ini seperti memenjara, sekaligus menghakimi kemungkinan tampilnya kreativitas seni rupa. Yang sebenarnya, menurut paham gerakan seni rupa baru, bisa lebih luas dengan sekian media dan dimensi yang tidak lagi terkungkung.
Pameran yang mengambil pola Pasaraya Dunia Fantasi di Taman Ismail Marzuki Jakarta, memang mampu menimbulkan sejumlah dampak, terutama dalam dunia kesenirupaan di Indonesia. Dampak tersebut tercermin dalam hubungannya antara konsep dan nilai estetika. Jika gaung dan pengaruh ini sekaligus mampu menjadi “anak kandung” bagi warga seni rupa Indonesia, berarti sejumlah peluang tentang pemahaman dan pengertian seni rupa akan mengalami demokratisasi nilai.

Demokratisasi dan Pluralisasi
Konsep estetika dalam lorong kesenirupaan yang selama ini dianggap sah, adalah karya-karya seni rupa yang terekspresi lewat media: seni lukis, seni patung dan seni grafis. Selebihnya belum dijamah. Seperti misalnya yang tumbuh di luar negeri. Christo, seorang tokoh seni rupa realisme baru, pernah membalut jembatan Pont Neuf dengan kain warna kuning emas, berikut juntaian lampu-lampu warna-warni. Ulah Christo ini sempat bikin kaget warga Paris, dan dia menganggap karya tersebut adalah karya seni rupa. Meskipun dalam hal ini mengambil tekanan pada aspek situasi.
Pernah pula seorang seniman lain, mengadakan pameran “bau” di sebuah hall yang luas. Di dalam hall itu dibangun beberapa sekat atau bilik dari bahan tembus pandang (kaca). Tiap bilik tersedia tabung yang mengeluarkan bau-bauan. Maka dalam ratusan sekat itu, tersedia ratusan bau, yang tentunya bisa bikin pengunjung cengar-cengir atau tersipu-sipu. Bentuk semacam ini konon juga menghendaki disebut sebagai karya seni rupa.
Lalu muncul ulah yang lain lagi, gurun pasir yang gersang disulap jadi padang rumput yang hijau. Orang jadi cingak, ternyata itu juga ulah seorang seniman. Yang menyemprotnya dengan cat hijau dari udara. Lalu bukit karang juga disentuh, dibalut kanvas, lalu dilomeri cat, itu juga menghendaki disebut karya seni rupa.
Di Indonesia, barangkali ini juga akibat dari pengaruh informasi, atau karena memang menangkap semangat yang sama, yakni ingin menggeliat dari kebekuan pemahaman dan nilai estetika seni rupa establis, maka sejumlah anak muda dari sekolah tinggi seni rupa, bikin karya lingkungan di Parangtritis. Pantai yang menghampar luas itu jadi lahan yang mengasyikkan. Itu juga ingin diakui sebagai karya seni rupa yang sah.
Di Taman Ismail Marzuki, sejumlah anak muda yang disebut tadi, yang kemudian lebih beken dengan kelompok Gerakan Seni Rpa Baru Indonesia, juga bikin pameran yang lebih kontroversial. Lebih jauh lagi, karena mendayagunakan sejumlah unsur. Unsur rupa, bunyi, bau dan rasa. Ada sebuah kotak berlapis kain hitam, di atasnya terdengar sirine meraung-raung, tak jauh dari situ, terlihat kubangan darah. Ada pula penonjolan suatu bentuk, di bawahnya terdapat cassete recorder, yang memekikkan pidato Bung Karno. Ini juga menghendaki disebut sebagai karya seni rupa.
Tahun 1987 ini, antara 15-30 Juni, gerakan yang konon sudah resmi membubarkan diri itu, ternyata bangkit lagi. Kini tampil dengan meledakkan trend. Pasaraya Dunia Fantasi, pasaraya adalah toko serba ada, dunia fantasi adalah dunia angan-angan. Dunia yang ada di realitas dongeng, realitas mimpi, realitas imaji.
Apa yang ditawarkan? Mungkin ingin menjalin milliu apresian yang akrab dengan kenyataan tersebut. Apresian yang dekat dengan konteks. Tak beda realitas simbol urban. Cermin kebergegasan, cermin konsumtivisme, cermin warna kota. Yang di dalamnya diguyur seni rupa keseharian. Dari stiker, iklan, komik, sampul majalah, kalender dan sebagainya.
Seni rupa ini pada mulanya amat dilecehkan oleh para pengamat seni rupa serius. Bila kini ada semacam upaya memperjuangkan kehadirannya, tentunya bukan suatu hal yang berlebihan. Estetika bisa tumbuh di setiap milliu, ras, kelompok maupun unit. Dari yang makro hingga mikro, demikian setidaknya pandangan Arief Budiman, yang akhirnya dia lebih suka menyebut estetika “kontekstual”. Karena itu, estetika bagi unit yang satu bisa jadi berbeda dengan unit yang lain. Inilah yang kemudian menjadi semacam munculnya warna demokratisasi dan pluralisasi nilai. Dari pluralisme estetik ke estetika pluralis.

Gejala Pop
Apa pun istilah yang kemudian dilahirkan karena gerakan tersebut, salah satu semangat yang bisa ditangkap dari kegelisahan ini adalah munculnya pola atau idiom pop yang dijadikan sandaran meluncurkan jurus.
Sebagaimana kita ingat, estetika demikian bila dikaitkan hubungannya dengan ruang dan waktu, maka lebih cenderung memilih ruang kendati pun harus mengorbankan waktu. Tak beda sinyalemen Ignas Kleden, pop memang sengaja memilih penonton yang banyak kendati sekali gebrak sudah itu lalu dilupakan.
Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, barangkali harus muncul dengan sejumlah gagasan, agar kehadirannya, dalam menawarkan konsep, menawarkan alternatif estetik tidak dicengkeram rutinitas. Sebab peluang-peluang yang bisa ditempuh untuk itu nyaris tak mengenal batas dimensi. Malah secara gurauan, dimensi transenden maupun imanen bukan masalah lagi. Karena pemahaman rupa dalam alam transenden, bisa mengesankan “akal-akalan” kalau pinjam istilah orang sekarang.
Karenanya pula, bentuk dan media menjadi semakin mengembang. Situasi-situasi karikatural pun bisa diangkat sebagai alternatif seni rupa. Semisal di pasar ada orang mencopet dompet, si empunya mengetahui, sebelum si empunya berteriak, si pencopet telah berteriak lebih dulu. Hingga akhir dari situasi itu, si empunyalah yang jadi sasaran gebukan orang banyak. Tak beda juga misalnya terjadi serempetan di jalan raya. Pihak yang salah pun bisa berani menghardik dan marah lebih dulu, maka masyarakat lain akan mengikuti menyalahkan tanpa tahu duduk persoalannya. Apakah yang demikian juga ditawarkan sebagai seni rupa? Gejala yang merangsang tumbuhnya dialog.
Kegelisahan seni rupa baru memang layak muncul. Karena beberapa nilai, tak cukup diwakili oleh warna, garis dan bentuk saja. Realitas kehidupan adalah total. Dari unsur rupa, warna, bunyi, bau dan rasa. Kesemuanya punya kans untuk diangkat sebagai sebuah karya yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Apakah di sana nanti bakal sanggup menggiring ke suasana dialog atau kebuntuan, itu bergantung kepintaran para perupanya. Bagaimana menyiasati gagasan, menyusun simbol dan sebagainya.
Bila pilihan ini tak punya harapan untuk sanggup menyiasati waktu, itu sudah merupakan risiko dari sebuah alternatif. Karena konteks realitas memang senantiasa berubah. Baik menyusut maupun mengembang. Peran teknologi juga tak bisa diabaikan. Juga Poleksosbudhankamnas!

Gejala Jarak
Mengapa demokratisasi dan pluralisasi budaya perlu diadakan? Jawabannya adalah, karena terciptanya jarak dan penghakiman nilai estetik. Jarak apresiasi dan penghakiman nilai? Ya.
“Keindahan, karena itu, memang bukan monopoli kaum elite; terutama elite sosial, yang di Indonesia kini tampak masih gugup dan canggung mencari selera. Apa yang indah bagi orang “sekolahan” tak bisa dipaksakan sebagai indah bagi orang pinggiran. Tapi dengan sikap toleran dan demokratis sekalipun, tak berarti keindahan tak menyembunyikan hierarkinya sendiri, apapun kriterianya.” (Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir, Tempo, 27 Juni 1987).
Selanjutnya Daniel Bell, seorang tokoh sosiologi menyebut gejala demikian sebagai “the democratization of genius” lahir dari semangat kerakyatan. Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu, menandai meledaknya kesenian Barat di tahun 60-an. Yang kemudian sempat dicatat oleh sejarah munculnya sang “pelopor” seni rupa pop, Andy Warhol. Seniman yang pintar melukis ikllan, atau berleceh-leceh membuat kipas angin ukuran raksasa dengan bahan kanvas. Produk teknologi masa kini yang divisualkan secara gombor dan kedodoran. Atau seorang senirupawan kolosal seperti Christo, tukang menggarap lingkungan dan situasi.
Jarak apresiasi di Indonesia, barangkali sebuah kondisi yang gugup. Kehadiran seni rupa dengan sekian “kreativitas”-nya konon semakin tak terjangkau oleh sementara kaum elite pendidikan sekalipun. Coba saja simak, hitung kuantitas pengunjung setiap ada pameran lukisan di ruang pamer TIM misalnya, atau Balai Budaya, atau tempat-tempat lain yang ada. Bandingkan dengan jumlah pengunjung pameran kartun, atau seni-seni lain yang melibat atau merefleksikan peroalan masyarakat dengan kadar aktualitas dan faktualitas yang tepat porsi.
Jarak apresiasi demikian kini akan dibangunkan jembatan oleh konsep estetika ala Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Ada tanda-tanda bahwa penawaran nilai mendekati final. Dan barangkali saja, model seni rupa begituan akan laris. Kendati pun demikian, ini toh bukan satu-satunya pilihan, seni rupa paham establis tak berarti harus tersingkir, harus terhapus dan tak boleh hadir. Persoalan yang perlu dipahami adalah persoalan lorong yang boleh-boleh saja majemuk. Tanpa perlu ada represi antara satu dan lainnya.
Dengan hadirnya “lawan tanding” konsep estetik, sekaligus mencegah timbulnya praktik dan penerapan monolitas nilai atau penghakiman sepihak. Kita tinggal menunggu waktu saja, apakah benar gerakan tersebut mampu tampil eksis menghadapi berbagai gempuran dan perjalanan di proses waktu. Bila ya, itu berarti ia tak akan disebut sebagai gerakan lagi, melainkan sudah mencapai fase aliran; yang sah hadir di salah satu sentral, tempat konsep estetika mempertanggungjawabkan nilai-nilai yang ditawarkannya.

Darminto M. Sudarmo, Penulis dan Pengamat Humor.

Catatan:
Artikel-artikel yang di-posting di halaman ini adalah tulisan Darminto M. Sudarmo (sebagian menggunakan nama samaran: Atin Supriyatin) yang telah dimuat di berbagai media daerah maupun ibukota antara tahun 1982 hingga 2004. Demi kelengkapan dokumen dan kajian humor, sebagian dari materi itu perlu disertakan agar pembaca mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang kronologi persoalan dan historisnya.
Tidak menutup kemungkinan, bila dalam perjalanan waktu ada wacana-wacana menarik tentang kajian humor mutakhir, tidak menutup kemungkinan pengelola blog akan memprioritaskan masalah tersebut agar dapat dikaji bersama-sama. Dan segera, tentu saja. Selengkapnya, lihat “Rujukan atawa Referensi” di halaman bawah.
Share this article :

0 comments:

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates