Headlines News :
Home » , , , » Memilih Hidup Sebagai Kartunis

Memilih Hidup Sebagai Kartunis

Written By Admin on Monday, May 25, 2009 | 2:15 PM


Perjalanan Menuju Dunia di Balik Cakrawala


Dikisahkan oleh GM Sudarta

Rabu Kliwon. Hari itu, malam takbiran menjelang Lebaran, 20 September 1945 dini hari, saya hadir di dunia. Konon, menurut cerita ibu, tamu yang berdatangan menjenguk kelahiran saya adalah barisan makhluk halus seperti genderuwo, pocong, dan glundhung pringis. Tamu-tamu istimewa yang tidak diundang itu membuat ibu pingsan. Entah benar entah tidak cerita itu, yang pasti sampai sekarang saya tidak pernah menjumpai makhluk seperti itu.

Anak yang lahir pada hari Rabu Kliwon, seperti saya, menurut ayah, berdasarkan hitung-hitungan pawukon, nantinya kalau dewasa akan menjadi pendhito. Bukan pendeta, melainkan pendhito dalam bahasa Jawa, misalnya seperti Pendhito Durno.

Tempat tinggal kami tidak begitu jauh dengan rel kereta api. Di masa kecil, saya senang
melihat kereta lewat dan sering main di rel. Bila melihat rel kereta api yang memanjang
dan kemudian hilang di cakrawala, selalu saya bayangkan bahwa di balik cakrawala itu
ada dunia lain. Dan, karena itu, saya sejak kecil berkeinginan untuk melihat dunia di balik
cakrawala itu. Itulah impian masa kecil saya, sehingga saya kepingin sekali menjadi masinis kereta api. Dengan menjadi masinis, saya bisa menikmati perjalanan jauh dan pergi ke dunia di balik cakrawala.

Saya masih ingat, saat Agresi Militer Belanda II yang sering disebut Clash II, tahun 1948, situasi begitu memprihatinkan. Zaman itu adalah zaman "malaise" bagi rakyat. Oleh karena Kota Klaten, tempat keluarga kami tinggal, diduduki tentara Belanda yang masuk kembali ke Indonesia ndompleng Sekutu, kami sekeluarga terpaksa mengungsi ke Desa Bayat, sebuah desa pegunungan yang terletak di sebelah selatan Klaten.

Diiringi dentuman mortir dan rentetan ledakan peluru, kami mengungsi lewat pinggiran desa. Ibu berjalan kaki dan saya naik sepeda roda tiga yang ditarik Ibu dengan menggunakan selen¬dang. Di pengungsian, saya sering melihat lewat lubang pintu para pejuang, bergerilya melintasi depan rumah. Pengalaman itulah yang antara lain mempengaruhi perkembangan imajinasi saya, yang kemudian saya wujudkan dalam gambar.

Setelah perang usai, kami sekeluarga kembali ke rumah di Klaten. Meski sudah kembali ke Klaten, tetapi kondisi sosial ekonomi belum pulih. Waktu itu, tidak jarang kami hanya bisa makan jagung, nasi aking atau tiwul. Tidak jarang pula kami makan nasi jagung yang keras, sehingga membuat saya sering menangis karena rahang kesakitan saat mengunyah nasi jagung yang keras itu. Untuk melupakan perut yang kosong, ke¬laparan, saya suka mencorat-coret tembok rumah dengan arang. Saya berusaha menggambar orang yang tengah berperang dan menggambar kereta api yang penuh penumpang. Kalau tembok sudah penuh dengan coretan gambar saya, yang menjadi tempat pelam¬piasan saya adalah jalan aspal. Saya menggambar dengan menggunakan kapur tulis.

Melihat hal itu, ayah membuat papan tulis dari bekas jendela yang sudah rusak. Papan tulis itu diletakkan di teras rumah. Jadilah saya menggambar apa saja di papan tulis itu. Saya menggambar bintang-¬bintang film yang saya tonton di bioskop (Ayah bersahabat dengan seorang pemilik bioskop. la suka iseng ikut menjaga pintu bioskop, sehingga meski masih di bawah umur, saya bisa nonton bioskop apa saja. Misalnya, Tarzan, Batman, Superman, hingga film "Niagara" yang dibintangi oleh Marilyn Monroe). Bintang-bintang film itulah yang saya gambar di papan tulis, termasuk Marilyn Monroe. Gambar-gambar saya itu banyak menarik perhatian orang, termasuk anak-anak sekolah yang sewaktu pulang sekolah lewat di depan rumah saya. Itulah, pameran lukisan saya yang pertama!!!

"Pinaringan"
Memang luar biasa, ayah yang kejawen dan boleh disebut "wong kuno", sangat mendukung kegemaran saya. menggambar. Sementara, ada anggota keluarga yang menganggap bahwa pekerjaan gambar-menggambar itu tidak akan menjamin masa depan. "Kamu itu, pinaringan," kata ayah, "yang artinya diberkati Tuhan. Kalau kamu laksanakan dengan baik, akan bermanfaat dalam hidupmu."

Dan, ini bukan hanya kebetulan. Mungkin, ini yang namanya "Jalan Tuhan". Oleh karena bisa menggambar, pendidikan formal SD, SMP, SMA bisa saya lalui dengan lancar, meskipun saya tidak pintar dalam berbagai pelajaran kecuali menggambar dan olah raga. Kesadaran akan pinaringan itu mulai terasa benar saat duduk di bangku SMPN I, pada tahun 1957. Guru kesenian saya, Bapak Mawaridi (alm) yang mengajar seni musik dan menggambar, setiap bulan memberi surat pengantar kepada saya untuk diberikan kepada petugas tata usaha sekolah. Surat pengantar itu digunakan untuk mengambil sekotak cat air merek PDK, kuas, dan kertas gambar. Dengan perlengkapan itu saya diberi tugas membuat lukisan apa saja untuk hiasan sekolah.

Itulah, pameran lukisan saya yang kedua!!!
Apa yang terjadi saat itu, memberikan kesadaran bagi saya akan "harga" sebuah gambar. Dengan sebuah gambar pemandangan permintaan guru aIjabar, membuat saya tidak masalah dengan nilai aljabar, meskipun saya sungguh sangat bodoh dalam ilmu itu. Waktu itu, saya beranikan diri untuk mengirim gambar ke majalah berbahasa Jawa, Penjebar Semangat, yang terbit di Surabaya. Kemudian ketika sudah duduk di bangku SMA, saya membuat komik dengan cerita Perang Aceh di koran Suluh Indonesia, terbitan Jakarta, dan komik cerita Saijah dan Adinda di Pos Minggu, Semarang.

Hasil dari kegiatan saya itu, bisa membantu untuk membayar uang sekolah. Itu sangat bermanfaat karena memang kondisi perekonomian keluarga saya sangat pas-pasan.

Merasa Menjadi Seniman
Saat duduk di bangku SMP, saya bergabung dengan APIK (Angkatan Pelukis Indonesia Klaten), yang dipimpin oleh pelukis Sri Suharto (alm). Bersama dengan Mas Sujio, pelukis asal Klaten, saya dalam keseharian setelah pulang sekolah pergi membawa map berisi kertas buram, berjalan ke mana saja, termasuk ke pasar untuk membuat sketsa. Saat itu, dada saya membumbung, serasa sudah seperti seorang seniman. Hasil dari latihan membuat sketsa masa itu, sangat bermanfaat di kemudian hari. Saya juga rajin mengunjungi pelukis nasional asal Klaten, Pak Rustamaji (aim). Waktu itu gaya lukisan Pak Rustam banyak yang hiper-realis, yang ternyata sangat mempengaruhi lukisan saya mendatang.

Pada tahun 1960-an, dengan maraknya kegiatan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan memasang poster-poster berukuran raksasa di tengah kota untuk kampanye politik, saya merasa tertantang. Saya kemudian menyaingi mereka dengan membuat poster berukuran raksasa pula yang digunakan untuk pentas drama teman-teman teater. Saingan saya tidak langsung waktu itu adalah guru menggambar saya sendiri sewaktu SMA. Meskipun kami berada di garis yang berlawanan, tetapi antara guru dan murid, kami tetap sangat bersahabat. Nasihatnya yang selalu saya ingat dan kenang adalah "Kita harus tidak bosan menggambar kapan saja, karena semakin lama, semakin tak terasa bahwa skill tangan akan bertambah terus."
Saya merasa sudah menjadi seniman. Apalagi, ditambah persahabatan saya dengan seniman-seniman seperti Agus Vrisaba, Deddy Sutomo, Arifin C Noer muda, dan WS Rendra muda, lengkaplah sudah dada membusung dengan pongah sebagai seniman tulen. (Bersambung...)
Share this article :

0 comments:

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates