Headlines News :
Home » , , , , » DEBAT PESINDEN, ke Mana Contreng Kualamatkan?

DEBAT PESINDEN, ke Mana Contreng Kualamatkan?

Written By Admin on Saturday, July 4, 2009 | 1:28 PM

Kartun Maulana Wahid Fauzi



Oleh Tandi Skober

Pemred Foeza Hutabarat cuti rindu, Redpel Kardy Syaid hunting ke Kelantan Melayusia. Reni Teratai Air sedang uring-uringan berkolbu keriting. Kantor Bu Letin kosong, nol! Untung ada Raja Joke Darminto M Sudarmo. Aku dikasih tiket kopaja, lima batang rokok jarum coklat dan ‘sego kucing johar’ Terus? “Liput debat Presiden!”perintah Darminto.

Berikut laporanku tanpa suntingan sana-sini oleh Redpel Kardi Syaid.

Kelir membentang panjang dipilari jejer wayang poyang-payingan. Patung Pancasila berada di tengah kelir. Tak jelas kelamin burung garuda itu jantan atau betina. Tapi, konon, sejak adanya burung Gerindra Prabowo, kepala burung Garuda itu kerap manggut-manggut penuh nafsu. Tidak dijelaskan juga, apakah nafsu untuk berantem atau untuk bersenggama. Yang pasti ruang debat iu ditata dalam konsep ‘The Dark Indolence Indonesia’

Sang Moderator mengenakan sarung motip mega mendung cirebonan. Kenapa pakek sarung? “Ini agar Burung Garuda dan Burung Gerinda ngerti betul bahwa dalam kehangatan dan kelonggaran sarunglah pesona Indonesia akan bertebaran hingga ke manca negra. Bandingkan kalau pakek celana panjang ketat gaya Eropah, Burung Garuda akan terjepit, tidak bisa bergerak, lecek, mingslep, meratap sukma. Emang sih, agak sedikit lega, apabila sang pemiliknya, sekali dalam lima tahun, melaksanakan kencing. Kancing dibuka, kencingpun kencang berlari.

”Apa artinya? Inilah inti demokrasi khas sarung!” ucap sang moderator yang di dahinya ada stempel warna hitam sujudi bernama Diding Karyadi.
Tak jauh dari Diding Karyadi terlihat tiga kandidat pesinden yaitu Susilowati, Megawati dan Kalawati. Pesinden nan tiga itu dipastikan berwajah Indonesia. Susilowati, misalnya, terlihat lembut, ada andeng-andeng di dahi sebelah kirinya, tutur tinularnya begitu pelan, ragu tapi terarah. Tiap kali kehilangan kata, matanya kerap melihat ke atas.

Akan halnya Megawati, berwajah keibuan yang melancholis. Andeng-andeng di dagunya menyiratkan rindu surga ada di Indonesia. Matanya nyanyikan sunyi yang jauh. Gerakan tangannya menyiratkan keprihatinan nasionalisme.

Kalawati? Wow! Ini cewe cerewet yang kenes, cerdas, langsing, mengingatkan aku pada Putri Guri Lawang dalam mitos Cirebon Kuno. Konon, siapapun yang menjadi suami putri Guri Lawang, dijamin akan selalu menyediakan gas oksigen di samping tempat tidurnya.
Baiklah, berikut pemaparan masing-masing kandidat.

SUSILOWATI: Kalau saya diberi amanah menjadi pesinden Indonesia, maka akan saya tembangkan lagu-lagu pop cendekia yang enak didengar, enak dilihat dan enak dimakan. Indo Mie itu enak dilihat loh. Juga enak didengar…’indomiiiiii, presidenku.! Juga enak dimakan. Kenapa? Harganya murah…

MEGAWATI: Loh! Piyo toh sampeyan itu. Wong rakyat suka dibohongi. Iklan di televisi yang namanya indo mie itu ada ayamnya, ada telornya ada irisan tomatnya. Rakyat jadi ngiler. Lah pas dibeli di warung, ga ada ayam, ga ada telor, ga ada irisan tomat. Yang ada ya hanya mie keriting ngeringkel tok! Makanya jangan bohongi rakyat dengan iklan.

KALAWATI: Maaf diajeng Susilowati, maaf. Sebagai orang yang berbudi dan bertatasusila yang baik, maaf diajeng, maaf, sebaiknya tidak menyanyikan lagu yang mendayu-dayu …’indomie presidenku,’ Tapi diakhiri dengan bentakan kalimat ‘lanjutkan!!!’ Ini mengagetkan para pemirsa televisi. Maaf, diajengm maaf. Yang tadinya rakyat Indonesia merem-melek mendayu-dayu, mendadak bangun saat maaf diajeng maaf, ada bentakan “Lanjutkan!!!!”

MEGAWATI:Wong sudah habitatnya. Dirayu-rayu diakhiri dengan bentakan.

DIDING: Stoppp dulu. Barangkali Susilowati mau buat sanggahan?

SUSILOWATI: 231 juta rakyat indonesia pasti punya mimpi. Sebagai pesinden harus menyanyikan lagu-lagu agar impian-impian itu terjadi pada saat rakyat Indonesia tertidur. Namanya saja mimpi yah harus mimpi yang enak-enak. Mimpi makan ayam, mimpi makan telor, mimpi makan rendang. Lantas agar tidak larut dalam mimpi maka perlu bentakan ‘Lanjutkan!!!!” Itu agar rakyat tahu bahwa semua itu hanya mimpi…

DIDING: Waktu habis. Sekarang Megawati.

MEGAWATI:Begini ya Pak Moderator. Kalau saya jadi pesinden, maka saya akan nyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Dimana Indonesia itu dibangun atas dasar substansi kebangsaan itu sendiri. Ibu pertiwi dimana banyak hal yang pernah berjuang untuk menegakkan UUD 45 dengan tetesan darah daripada subsantansi para pejuangangnya. Sebagaimana contoh 1908, 1928, 1945 banyak hal yang dapat dijadikan contoh. Soalnya lagu-lagu kebangsaan itu substansinya akan membangkitkan semangat menjadi mandiri. Jadi kerakyatan yang mandirilah…

SUSILOWATI:Saya setuju dengan diajeng Mega. Rakyat kita perlu mandiri yang dinaungi lagu-lagi heroisme, patriotisme dan tembang kebangsaan. Sebagai pesinden kita semestinya menyanytikan lagu-lagu itu. Maka jadilah orang yang memiliki semangat kebangsaan bukan semangat pedagang..

KALAWATI: Maaf diajeng, maaf. Kalimat itu tidak etis untuk diucapkan. Etos pedagang itu sangat perlu. Sebagai pedagang harus tidak ragu bertindak cepat. Maaf, diajeng, maaf. Diajeng suka ragu. Diajeng masih berpikir begini begitu, sementara orang lain sudah bertindak cepat, segera dan sukses. Artinya, maaf diajeng maaf, pesinden yang ragu untuk menyanyikan sebuah lagu pada akhirnya akan menghasilakan apa yang disebut ketidakpastian. Tapi saya sependapat dengan diajeng Megawati.

DIDING: Waktu habis. Barangkali Megawati mau mengklarifikasi.

MEGAWATI:Baik Susilowati maupun Kalawati esensinya sependapat dengan saya, jadi secara substansial saya yang benar.

DIDING: Kini giliran Kalawati

KALAWATI: Kalau saya menjadi pesinden saya akan nyanyikan lagu-lagu dangdut jazz! Kenapa? Karena dangdut itu menyegarkan, menghibur dan luar biasa. Ingat, 8 dari 5 warga Indonesia suka dangdut. Tapi agar bisa dimengerti bangsa-bangsa lain, yah kita modifikasi dalam format jazz!

Mendadak Susilowati dan Mega mendekati lebih dekat lagi Kalawati. Diding tampak bingung. Apalagi saat Kalawati menyanyikan lagu Fatwa Pujangga karya Said Effendi

T'lah kulihat iklanmu berlalu
Penuh sanjungan kata merayu
Syair dan pantun tersusun indah, sayang
Bagaikan madah fatwa pujangga

Tapi sayang sayang sayang
Seribu kali sayang
Ke manakah pilihan
Nak kualamatkan

Bandung, 3 July 2009
Tandi Skober adalah penulis novel “Pelacur, Politikus dan He He He “




Telor Calon Suami, One Day in Your Live


Oleh Tandi Skober


“Jangan tulis politik,” itu SMS cuti Pemred Foeza Hutabarat. “Edisi Ahad mesti ringan dicerna,”itu SMS hunting Redpel Kardy Syaid. “Gw mo bobo selahat bareng Mikhael Jackson,” itu SMS resah sekretaris redaksi Reni Teratai Air. “Aku lagi kelangan kelingan kenangan sing ilang,” itu SMS kasamaran Pemimpin Umum Darminto M. Sudarmo. Aku? Tepojok di sudut gelap membolak-balik berkas opini yang masuk. Akhirnya aku temui klipng berita seputar kisah kasih tak sampai gara-gara telor calon suami.

Medan, Padang Bulan, 31/4/1980, Bu Letin
Cintaku pada Derisna tak akan lekang hilang ditelan zaman. Pagi itu, aku jadi temanten diiringi Coking Susilo Sakeh,YS Rat, Izharry Agus Jaya, AA Bungga, Nina Zuliani, AS Atmadi, Damiri Mahmud, NA Hadian, D Rifai Harahap, Idris Pasaribu, Atok Ai, Sugeng dkk melangkah menuju pesta nikah di rumah temanten wanita di Pandang Bulan, Medan.

Mataku penuh cinta memandangi mempelai wanita bernama Derisna itu. Derisna baru saja lulus SMP. Aku sudah bekerja di Kantor Perbendaharaan Negara Medan usai lulus SMEA. Ketika Aminuddin Anhar bertanya, “Kenapa kawin muda?” Aku bilang,”Aku sudah mimpi basah. Daripada tiap malam mimpi basah sekalian saja mandi basah.” Ini pas banget dengan ucapan ustad A Rahim Qahhar bahwa kawin muda itu mencegah perbuatan keji yang tak terpuji. Terlebih lagi LSI (Lembaga Sex Indonesia) menyebut angka 7 dari 10 pria berusia antara 20 s/d 25 tahun yang belum beristri, setiap kali mandi menghabiskan waktu lebih dari 23 menit dibandingakan dengan yang sudah beristri yang hanya membutuhkan waktu hanya 13 menit.

Rombongan pengantin pria disambut adat Jawa Deli ‘Sawer Jaran Guyang” ditimpali gamelan pujakesuma pimpinan Choking Susilo Sakeh “Bendrong Alon Centhini Itil” Seorang pesinden buruh pabrik sawit lemah gemulai tetembangan “Yen Bulan Ndadari”.

Mataku tak jua berhenti memandangi Derisna. Ia mengenakan kebaya putih, sarung putih berhiaskan melati putih. “Nikah itu sesuatu yang suci ya Kang Tandi,”suaranya lirih saat aku pastikan bahwa hanya Derisna yang dari kemaluannya akan nongol anak-anakku, kelak. Ah! Derisna tersenyum. Senyum yang mengingatkan aku pada lengkung pelangi, usai germis senja membasahi tanah gelisah Padang Bulan, Medan, Sumut.
Aku dan rombongan kini berhenti di depan pelataran rumah Derisna untuk mengikuti prosesi injak telor. “Injak telornya slow motion ya, “ucap Idris Pasaribu juru potret Skh. Analisa merangkap calo karcis bioskop Mayestik Medan”Itu agar aku dapat gambar kaki kau!”

Aku mengangguk hormat.

Syarifuddin Dalimunthe dari pihak mempelai wanita bercerita tentang kandungan falsafah dari prosesi ‘injak tel;or’ itu. “Kenapa yang diinjak telor, bukan kerupuk atau rempeyek? Itu karena dalam telor banyak kandungan gijinya. Seperti tertulis dalam UUD 1945 pasal 7 ayat 2 bahwa diwajibkan atas kamu memakan telor setengah masak sebelum kamu menggasak-nyogok istri-istri kamu. Sementara pasal 8 ayat 9 menjelaskan bahwa para pria yang tidak memiliki dua telor di trijilannya dipastikan termasuk katagori pria terkebiri. Pria jenis ini, seperti termaktub dalam pasal 24 ayat 3 dipastikan mandul. Inilah esensi dari prosesi injak telor.”

Kamipun tepuk tangan. Derisna melihat di bawah pinggangku. Aku meraba anuku. Hmm, ternyata dipastikan aku bukan termasuk jenis pria seperti termaktub dalam pasal 8(9) dan pasal 24(3) UUD 1945.

Di depan kakiku, kini ada sebutir telor di atas talam berwarna putih. Mempelai perempuan duduk membawa ceret antik berisi air. “Seperti djelaskan dalam UU Perkawinan pasal 9, diharuskan mempelai pria menginjak telor dan mempelai wanita membersihkan kaki suaminya dari isi telor itu degan seceret air kembang tujuh warna,”sambung Syarifuddin Dalimunthe,” Maka atas nama kisah-kasih Tandi-Derisna, acara injak telor dimulai!

Derisna tengadah memandangku, tersenyum. Oh! Bibir itu, sekali tempo, pernah ingin aku cium. Tapi ia menolak halus, “Kisah kasih kita, Kang Tandi. Harus seputih telor. Meski warna merah dan putih ada dalam satu telor. Tapi tetep ada barzah! Ada batas yang tidak bisa mencampurnya warna merah dan putih. Kelak, saat kita resmi menjadi suami istri, jangankan bibir atas bibir bawahpun sudah milik kang Tandi,”ucap lirih Derisna.
Maka telapak kakiku menginjak telor.

Telor pecah! Dan? Ternyata dalam telor sudah ada ‘pitik’nya. Telor bungker!

Aku kaget! Derisna kaget! Rombonganku juga kaget!

“Batalkan pernikahan!”teriak Choking.

“Gila! Ini pelecehan!”teriak Sugeng.

“Ini sebagai isyarat bahwa mempelai wanita sudah hamil!”teriak Izharry Agusjaya.

Aku ditarik ke belakang oleh R Mulia Nasution. “Apakah abang sebelumnya pernah menggauli wanita itu?” tanya Mulia.

“Loh ya ndak lah! Wong ciuman saja ga pernah.”jawabku jujur.

Idris Pasaribu langsung tolak pinggang.

“Nikah gagal!”

Syarifuddin Dalimunthe marah besar. “Ini soal teknis! Juga tidak diatur dalam UUD 1945 maupun UU Perkawinan bahwa penikahn dianggap tidak sah dan gagal apabila telor yang diinjak ada pitiknya. Telor bungker!”

“Pukimak semua! Bubar! Bubar! Pulangggggg!” teriak rombongan mempelai pria.

Derisna menangis, pingsan!

SEPI menepi di kaki langit.

Aku tulis gelisahku di lintasan angin.

“Dinda Derisna, sampai saat ini, aku tidak pernah bisa memaafkan diriku sendiri. Pada saat aku membeli telor itu, agar hemat, sengaja aku beli telor yang bungker. Lebih murah dibandingkan telor yang baru ditetaskan…….”

Bandung,5 July 2009 @ 09:43:01


Share this article :

0 comments:

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates