Headlines News :
Home » » Kemiskinan Rasa Humor

Kemiskinan Rasa Humor

Written By Admin on Wednesday, December 31, 2008 | 12:02 AM

Oleh Darminto M Sudarmo


GAUNG isu pemberantasan kemiskinan tampaknya masih akan relevan hingga beberapa dekade mendatang. Persoalan kemiskinan, ternyata tidak hanya berkaitan dengan kasus ekonomi, namun juga menyangkut persepsi individual dan pola pikir kultural. Termasuk bagian yang disitir Jacob Soemardjo (Hikayat Si Miskin, Kompas, 26 November 1994), kemiskinan rohani, yang hingga kini belum disentuh setajam kasus kemiskinan jasmani.
Kemiskinan yang diderita masyarakat dunia berkembang memang lengkap. Dari kemiskinan materi, informasi, referensi, partisipasi dalam ajang perebutan peluang global, hingga ke hak-hak privasi selaku warga negara dan anggota masyarakat sebuah komunitas.
Akumulasi dari keseluruhan kasus di atas umumnya hanya menghasilkan penderitaan, ketertinggalan, keminderan, ketergantungan dan ketidakberdayaan. Masyarakat dalam strata peran yang demikian, memerlukan waktu yang cukup untuk membenahi diri. Banyak teori dan solusi kunci yang dimajukan para ahli untuk mengurai kasus kemiskinan, namun watak dan ciri kemiskinan yang beragam, ternyata tetap memerlukan fleksibilitas dan fisibilitas pendekatan dalam praktek di lapangan. Upaya-upaya general dan mengabaikan ciri lokal, lebih banyak terjebak pada hasil yang spekulatif dan krusial.

*

SEMENTARA itu, di bagian lain dari percaturan kemiskinan yang tidak sederhana masalahnya itu, kita dihadapkan lagi pada persoalan "kemiskinan" attitude atau eleganitas sikap dalam pergaulan masyarakat global yang -- konon -- sudah terpola oleh satu kriteria cara bertata krama yang santun tapi demokratis sesuai asas peradaban masyarakat internasional. Dalam arti memuat substansi, selain luwes dan elegan, juga memiliki rasa humor (sense of humour) yang memadai.
Kepemilikan rasa humor, diwujudkan dalam ekspresi-ekspresi yang sederhana. Tidak mudah tersinggung oleh stimulasi minor pihak "rival" dan fakta-fakta otentik di luar prediksi. Tidak membuat persoalan menjadi menggantung, sehingga pihak lain menjadi bingung lalu mengambil manfaat dari kondisi yang "konterapung" itu. Tidak gampang terjebak oleh agresivitas emosi primordial dan agitasi yang tidak fair. Sanggup melihat sisi "lucu" dari kekurangan dan ketidaksanggupan diri. Sanggup mengapresiasi, bahwa kekurangan dan kelebihan; kejahatan dan kebaikan; bukan monopoli pihak tertentu.
Kepekaan rasa humor juga muncul karena kemampuan melihat "sesuatu" yang dapat merangsang perasaan intelektual sehingga tercipta proses netralisasi. Ekspresi orang-orang yang memiliki peradaban humoristis, akan bernuansa lain dari yang berkecenderungan anarkis. Meskipun, keduanya sama-sama hendak melakukan "upacara" pelepasan katub penyumbat.

*

OLEH karena itu, manfaat yang dapat dipetik dari "kekayaan" rasa humor, bukan saja ketika harus berurusan dengan masalah-masalah individual, melainkan juga masalah sosial dan budaya dalam pengertian seluas-luasnya. Fakta-fakta yang dipaparkan di media massa dan cenderung sulit dilacak nalarnya, dapat ditemukan dengan menyediakan pendekatan lewat dimensi humoristis.
Masyarakat humoristis tak akan bingung lagi kalau mendengar usulan seorang pakar komunikasi yang bunyinya, pintar-pintarlah masyarakat membaca berita yang tak terbaca. Siaran yang tak disiarkan. Bahkan, iklan yang tak diiklankan.
Masyarakat demikian juga tak mungkin bingung mengakses komentar pejabat yang kadang terlalu luas dan berbau jargon untuk masalah-masalah yang sederhana dan kasuistik. Ashadi Siregar pernah menyindir pers yang cenderung ngublek-ublek fakta lunak namun lembek ketika berhadapan dengan fakta keras. Darmanto JT merasa aneh melihat sikap sementara pihak yang mencemaskan pengaruh buruk televisi: kalau itu benar, berarti sudah banyak orang Indonesia yang pandai karena pengaruh televisi pula.
Fakta-fakta humoristis, bahkan dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa kita punya istilah: pengusaha jago kandang, yang gigih memohon proteksi tapi keok dalam kompetisi terbuka? Mengapa ada anjuran: penegak hukum agar tidak menari di atas "bangkai" si pelanggar? Tentu saja semua itu menyiratkan kondisi yang di dalamnya memuat ketidakwajaran-ketidakwajaran antara konsep dan praktek di lapangan. Adanya pelecehan fungsi profesi. Adanya sikap jalan pintas yang menyepelekan sistem, mekanisme. Dan ini semua menjadi "santapan" lezat bagi masyarakat humoristis untuk menakar apresiasi dan daya nalarnya agar tidak kecebur dalam lumpur anarki. Tidak nyasar ke kemiskinan akal budi.

Darminto M Sudarmo, penulis dan pengamat humor.
Share this article :

0 comments:

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates