Headlines News :
Home » , , , » Pelawak dan Daerah Bebas Pretensi

Pelawak dan Daerah Bebas Pretensi

Written By Admin on Monday, May 11, 2009 | 6:19 AM

Oleh Atin Supriyatin


SEBUAH bangsa boleh tidak punya koruptor, penjahat, debt collector, penipu dan lain-lain; tapi pelawak, harus punya. Bangsa yang tidak memiliki pelawak, akan terkena malapetaka. Demikian salah satu "gurauan" budayawan Emha Ainun Nadjib ketika menjadi pemandu "Saresehan Lawak" di Ancol, pertengahan Oktober '94 mendampingi Mensesneg Moerdiono (waktu itu), sang pembicara tunggal.

Pelawak dalam pengertian comedian menurut tradisi rasa dan pemahaman orang luar negeri (baca: barat), berbeda dengan badut, sang penggeli hati. Di Indonesia, dalam etnis Jawa, dikenal istilah punakawan atau pembantu -- biasanya berjumlah dua, tiga atau empat -- yang selain melayani tuannya; juga bertugas menghibur dengan cara berlelucon atau membuat dagelan. Tidak berhenti sampai di sini, punakawan juga mengemban fungsi penasihat, pembimbing dan kontrol sosial terhadap setiap kebijakan para tuannya (bendara).

Empat punakawan yang sangat populer adalah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Dalam makna mistis-filosofis, para punakawan ternyata juga menyimpan energi instrinsik yang amat dahsyat. Mereka bukan saja pembantu namun juga sekaligus dewa yang turun ke bumi. Artinya, bila para tuan atau bendara yang mereka abdi mulai menyimpang dari garis-garis keutamaan seorang satria dan tak mempedulikan lagi nasihat dan piweling (peringatan) yang diisyaratkan, maka tak segan-segan lagi para punakawan berunjuk gigi.

Berbagai model unjuk gigi dilakukan. Adakalanya dengan cara tiba-tiba melakukan "desersi" atau mbalelo. Kala lain menyaru sebagai raja atau tokoh dadakan yang kontroversial. Yang intinya melakukan suatu "gerakan" untuk memberi pelajaran kepada para penentu atau pengambil keputusan kerajaan. Ending dari friksi atau situasi yang seakan mencekam ini, baik fisik maupun argumen, selalu diakhiri dengan terbukanya, siapa "biang" di balik setiap "kekacauan" itu. Pada saat itulah, para punakawan itu membuka tabir motivasinya. Bukan mau melawan atau menjadi "oposan", namun semata-mata memberi pelajaran. Mereka siap membantu dan mendukung para satria, asal para satria segera memperbaiki kelalaian yang dibuatnya. Lalu para satria dan penentu negeri meminta maaf karena telah mengabaikan asas-asas keutamakan yang pernah diisyaratkan kepada mereka. Karena faktanya, kebijakan yang diluncurkan itu membawa keruncingan-keruncingan yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan negeri.



CONTOH di atas hanya ingin menampilkan sisi banding sekilas mengenai latar belakang budaya, tradisi, dan pemahaman rasa antara pelawak (baca: komedian) di luar negeri dan pelawak (baca: punakawan) di salah satu etnis kita; yang seakan-akan sulit dilacak di mana titik persamaannya. Namun, bila diusut soal fungsi dan peran mereka dalam beraktualisasi diri, akan ditemukan beberapa kesamaan menarik. Keduanya sama-sama mengemban kewajiban -- dalam refleksi profesi -- sebagai penghibur. Sama-sama pemantul fenomena yang terjadi di masyarakat. Sama-sama mengemban fungsi kontrol sosial. Sama-sama punya komitmen perlunya menjunjung muatan daya didik dan kobaran wabah optimisme di masyarakat.

Dalam konteks ini, pelawak, lepas dari rujukan sosio terminologinya: luar negeri atau bukan luar negeri, tetap saja menampilkan sosok yang mengemban fungsi luhur. Ia mampu menyampaikan kebenaran dengan ketawa. Mampu berdiri dalam garis bebas pretensi. Mampu menjadi jembatan antara rakyat dan penguasa; betapa posisi yang amat langka dan spesifik. Kepemilikan akses untuk bisa "berlalu-lalang" di dua wilayah yang amat istimewa.

Jadi, rasanya amat kurang bisa diterima akal kalau belakangan ini tumbuh semacam "kekhawatiran" sejumlah pelawak yang seakan sedang "goyah" kepercayaan dirinya dengan mengeluhkan, bahwa pelawak itu malang karena tidak punya pensiun di hari tuanya; tidak punya asuransi kesehatan; menjadi warga negara kelas dua; tidak punya pelindung birokrasi; dan lain-lain. Bukankah ini sangat bertolak belakang dengan fakta yang sebenarnya, bahwa saat ini pelawak sangat disukai, digemari, dan dicintai penggemarnya -- dari kalangan mana pun.

Menjadi pelawak adalah sebuah pilihan. Seperti halnya menjadi aktor/aktris, seniman, karyawan swasta, atau profesi lain yang kenyataannya belum tentu masa tuanya terjamin, belum tentu dapat pensiun. Apakah masalah -- yang menurut hemat saya -- sangat "intern" dan hanya soal keterampilan hidup ini layak diangkat sebagai tema mayor dalam isyu-isyu pertemuan dan saresehan berikutnya?

Upaya pertemuan dan saresehan -- yang melibatkan baik birokrat maupun bukan -- tetap saja penting dan sangat bermanfaat sejauh targetnya menuju pada penajaman dan peningkatan aspek instrinsik maupun ekstrinsik bidang keprofesian. Dengan demikian, upaya-upaya itu jadi relevan bagi masyarakat, baik dari kalangan birokrasi maupun bukan birokrasi. Ini bukan meragukan iktikad baik penyelenggara pertemuan maupun pihak yang menjadi pembicara, namun lebih dari itu adalah upaya mendudukkan posisi dan proporsi yang sebenarnya, bahwa pelawak adalah tetap saja salah satu agen kontemplasi. Bukan agen praktis dari kepentingan apa pun.

Ia tetap harus berdiri dengan adil. Memihak kepada garis yang sudah difitrahkan kepadanya: sebuah atmosfir yang bebas dari kepemihakan praktis. Dengan demikian fungsinya terasa optimal baik bagi penguasa maupun rakyat. Toh, dua-duanya memiliki peluang untuk benar dan khilaf (termasuk pelawaknya sendiri). Tak lucu lagi kalau pelawak harus "memohon-mohon" proteksi birokrasi atau "menebak-nebak" posisinya ditempatkan sebagai warga kelas dua oleh masyarakat.

Semangat independensi pelawak dan upaya membangun rasa percaya diri yang sewajarnya adalah satu-satunya harta berharga untuk bisa tetap survive dalam meniti tangga profesionalisasi karier. Seperti halnya seniman yang lain, pelawak akan membuat kursi, kerajaan, dinasti atau "konglomerasi" sekalipun semata-mata atas upayanya sendiri. Bukan jatuh dari langit, bukan anugerah sebuah SK. Bing Slamet, Johny Gudel, Gepeng, Bagyo, dan lain-lain nama yang tak dapat disebutkan satu persatu adalah barisan sejarah pelawak yang inspiratif untuk dikaji dan direnungkan tahap-tahap perjalanan kariernya.

Atin Supriyatin, pengamat sosial budaya, tinggal di Jakarta.
Share this article :

0 comments:

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates