Headlines News :

Menanam Indonesia

Written By Admin on Thursday, July 30, 2009 | 12:20 AM

MS Kaban, Menteri Kehutanan RI, Mengajak, Mari Menanam Indonesia!

Oleh Tandi Skober

Zikir hutan mengalir di kalbu Hamsad Rangkuti ketika menjadi saksi prosesi akad nikah putranya. Ada lafal akad nikah bahwa putranya menganugerahkan mahar berupa 12 gram emas dan 500 bibit jati unggul nusantara. Ketika tanda sah halal pernikahan berkumandang, tak mustahil belantara hutan nusantara menasbihkan firman Tuhan tentang makna sebuah pohon. Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya ke langit. Ia memberikan buahnya pada setiap musim dengan seiizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan untuk manusia supaya mereka selalu ingat (Alquran, surah Ibrahim [14]: 24-25).

Persembahan kepada Bunda Alam
Tanah dibelah, ditanami, dan makhluk Tuhan itu tumbuh liar memanjat langit. Akarnya menghunjam kokoh. Pada setiap buahnya, ada sungai-sungai sunyi kearifan kontemplatif. Simak, jiwa manusia Jawa ketika langkah lampah selalu berawal dari wayang gunungan hutan dan lakon ditutup juga dengan wayang gunungan hutan. Rimba belantara pun menjadi ayat-ayat Tuhan! Untuk satu pohon yang ditanam, butuh suara sakral, butuh prosesi perenungan yang jauh. Lihat, orang Uluiwoi, Tolaki Sulawesi Tenggara, tiap kali melangkah di belantara hutan selalu memandang wotika, yaitu tiga buah bintang yang berbaris sejajar terletak di sebelah timur, memerhatikan suara meualo burung tekiki, mendengarkan suara alam yang mengabarkan roh hutan yang bertasbihkan kinasih humanisme yang agung.

Berangkat dari kearifan kultural itulah, manusia tidak hanya dimahkotai keajaiban-keajaiban budaya jagawana, juga memiliki pilihan-pilihan untuk menumbuhkembangkan forestrasi. Ada mahar nikah yang di dalamnya ada hasrat menasbihkan zikir air mata syukur. Ada hentakan keyakinan para musisi saat mengibarkan tembang 'tongkat dan kayu jadi tanaman'. Ada doa lirih dari masa lalu yang menceritakan setiap tangan manusia pada hakikatnya ada hak bumi untuk mendapatkan sedekah. Manusia budaya menyebutnya sedekah bumi.

Menanam pohon, sekecil apa pun, pada hakikatnya, di akhirat kelak akan tumbuh menjadi taman surga kita. Manusia Jawa Pesisir menyebutnya 'bela sunat'. Sebab, saat sang anak dikhitan, konon kriwilan kulit yang disunat itu ditanam bersama bibit pelem. "Jadilah kelak kamu seperti pohon mangga. Tumbuh besar, akarnya menghunjam tanah, buahnya lebat. Tiap kali ada yang melempar dengan batu, maka dibalas dengan jatuhnya buah mangga Dermayu yang harum dan manis," tutur lirih masa lalu pesisir Indramayu.

Nusantara memang tercipta dari serpihan surga yang membias. Meski luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi, di tanah surga ini ada 11 persen spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Ini bukan mitos. Dari sinilah, banyak impian bisa dialirkan. ''Bila tak pernah menanam pohon, jangan dipetik daun yang hijau.'' Misalnya, menjadi ungkapan khas Melayu Deli. Mengapa? Saat sidang akbar di padang mashar ukhrawi, kelak daun yang dipetik akan menuntut tangan zalim kita. Dari selembar daun, tidak mustahil akan tumbuh bunga. Dari kelopak bunga, tidak mustahil tumbuh cikal-bakal buah. Artinya, saat daun itu dipetik, saat itu pula terjadi deforestrasi.

Disebabkan hal itu, tak sedikit para calon haji tiap kali mengadakan prosesi syukur bin nimah jelang berangkat haji, menanam pohon di halaman rumahnya. Ini tak sekadar pohon kenangan apabila pada akhirnya wafat di tanah suci, tapi juga memiliki harapan akan menjadi penebus dosa ketika secara sadar atau tidak sadar pernah iseng memetik daun, memotong ranting, atau menumbangkan pohon. Ini amalan saleh! Lagi pula, dari pohon yang ditanam, sepanjang pohon itu tetap tumbuh kokoh, dipastikan akan mengalir pernik-pernik pahala yang diyakini sebagai kenikmatan di alam barzah. ''Buah dipetik orang di dunia, pahala membekas hamba di alam barzah,'' ungkap pepatah lama.

Maka, tak aneh manakala tak sedikit para sufi yang meyakini dari pohon yang ditanam di dunia akan terbuka sebuah pintu surga di akhirat. Hal ini pernah menjadi tren kisah-kasih remaja tahun 1980-an! Sebelum sang kekasih pergi jauh ke negeri orang menimba ilmu, di sebuah bukit ditanamnya pohon. ''Pohon ini adalah saksi kisah-kasih kita, dik. Pupuklah, siramilah dengan air. Rawatlah tiap helai daun dari hama-hama mematikan. Pandanglah pohon ini, tiap kali rindu adik membara di kalbu,'' tutur lirih sang kekasih.

Pohon pun jadi saksi kisah-kasih merasuk sukma. Simbolik yang melankolik. Tiap pagi dan petang, ia sirami pohon cinta itu. Ia yakini sesungguhnya dari pohon akan tumbuh rasa kasih tak bertepi. Apa artinya? Pohon juga berzikir. Daun-daun hijau mengalirkan warna teduh. Dan, di bawah sebuah pohon, kita tidak hanya akan didamaikan bentangan alam juga akan merasakan semilir angin cinta yang tak rapuh ditelan zaman.

Dari belantara hutan Papua, konon tiap kali ada penikahan, sang pengantin pria menanam pohon matoa seraya mengalirkan syair tentang hakikat pernikahan.
Fafisu saswar ku bena ro Pasir Putih,
syambilab isyof fioro imnisra matoa bom Umsini.
Na byekakop beyuser ro wamo Manokwari,
Ifar maimnis rusa bero abris Rendani .
(Kisah kasih kita di Pasir Putih,
teguh abadi seperti pohon Matoa di Gunung Umsini.
Akan terukir lintas angin Manokwari,
berlari bagai rusa di rumput datar Rendani.)

Sebatang pohon dalam perspektif manusia Papua kemungkinan menjadi tanda cinta pelabuhan kasih. Di bawah pohon dalam lanskap lengkung langit bergemerlap bintang, keduanya memadu kasih. Pada saat sang ibu melahirkan juga berada di bawah pohon. Tidak hanya itu, didakinya Gunung Kebar ditanamnya rumput kebar yang diyakini bahwa dari rumput kebar akan ada keajaiban vegetarian yang membuat rahim sang istri tidak mandul.

Sebatang pohon pada akhirnya seserpih surga forestrasi! Saat anak-anak lahir, bagi masyarakat Jawa, ketika uri dimasukkan dalam kendi, saat itu juga uri jabang bayi dan sebatang pohon ditanam, dicahayai lampu bambu yang berkerdip-kerdip. ''Gusti Allah yang Maha Pemelihara, jadikan pohon itu teman sedulur papat kelima pancer sang jabang bayi.'' Doa lirih sang ayah.

Apa artinya? Ada nyanyian nan indah dari masa ke masa yang dituturkan secara kultural oleh nenek moyang kita bahwa pohon memiliki hubungan lir manis kalawan madu dengan seberkas roh manusia. Mulai dari kelahiran, khitanan, pacaran, pernikahan, berangkat haji, kematian, hingga alam barzah, tak pernah lepas dari menanam pohon. Itulah sebabnya para pegiat peduli hutan membentangkan slogan "Indonesia Menanam!" Mengapa? Hutan dari masa ke masa selalu mengzikirkan kalimat, "Menanamlah Indonesia!"

Indonesia Menanam! One Man One Tree ! Dan, entah apalagi pada hakikatnya sebuah rangkaian panjang perjalanan budaya jagawana dari masa purba kini sampai ke batas kaki langit waktu tak terhingga. Sebuah kebijakan sekaligus kebajikan! Ada ruang forestrasi yang mestinya tak pengap, bila pada saat tiap manusia Indonesia meyakinkan diri mereka bahwa sesungguhnya mereka lahir dari rahim Bunda Alam.

Global menghijau
Mahar nikah 500 bibit jati nusantara bisa jadi sebuah isyarat lirih dari seorang putra budayawan Hamsad Rangkuti. Dari lanskap perspektif forestrasi, hutan kerap menawarkan kearifan-kearifan humanistik. Dalam hutan, ada ayat-ayat Tuhan yang mengalirkan pernik-pernik surga yang jauh, yang dari setiap pohon dijanjikan ada banyak pahala.

Maka, mari menari memasuki jiwa belantara hutan. Mari menananam, Indonesia! Bersucilah dengan tanah basah. Berzikirlah dengan pohon yang tertanam dalam rahim tanah. Alirkan air mata syukur tanah air hingga pohon-pohon itu tumbuh, tumbuh, dan terus tumbuh menjadi kearifan global menghijau.***
Share this article :

0 comments:

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates