Headlines News :
Home » , , , , » Pak Raden dalam Catatan P Chusnato Sukiman

Pak Raden dalam Catatan P Chusnato Sukiman

Written By Admin on Thursday, September 3, 2009 | 7:24 PM




Seperti Dongeng Sebelum Tidur

(Saya memulai cerita ini saat terjaga dari tidur...)

Untuk keperluan “mengorek” data--sebagai pelengkap untuk keperluan buku biografi Drs Suyadi atau yang biasa dikenal dengan nama Pak Raden (dalam serial Si Unyil) yang sedang saya susun ini--saya menghabiskan lebih dari sembilan bulan membuntutinya.

Mulai dari “mengintip” dia melukis, merekam tahapan saat dia ber-make up, bagaimana ia merawat empat kucingnya, ikut melihat proses pembuatan boneka “Si Unyil”, melihat proses rekam suara Laptop Si Unyil di Trans TV, mengantarnya ke sejumlah teman lamanya untuk sekadar mengingat-ingat remahan peristiwa, jalan-jalan mencari DVD (bajakan) film Pinokio, sampai terkantuk-kantuk menemani dia makan (yang lamanya melebihi secangkir kopi hitam gelas belimbing , tiga batang rokok Dji Sam Soe itu, dan mengirim sekitar 8 SMS…)


“Apa yang membuat mas Chus begitu telaten membuntutinya?” Tanya adik bungsu saya.

“Dia tak banyak uang, dan banyak sekali dongengannya…” seloroh saya.

“Kalau dia ternyata berlagak miskin padahal punya banyak uang?” seloroh balik adik saya itu.

“Ini baru dongeng yang sebenar-benarnya…”.

***

Saya besar dalam keluarga yang “tenggelam” dalam dunia dongeng. Ibu saya, terutama, dialah pendongeng sejati. Belasan dongeng Jawa Kuna kerap ia sajikan untuk kami semua anak-anaknya. Berbeda sedikit dengan orang lain, ibu saya kerap mendongeng di kala kami beraktivitas, bukan menjelang tidur. (Mohon dibaca sebagai : bekerja membantu beliau entah mengupas kelapa, menyiangi ikan, menimba/mengisi air bak dari sumur, mengaduk dodol, menyuci piring, membuatkannya wedang jahe, atau memijitinya). Dia duduk di kursi rodanya mendekati kami yang sedang bekerja, beberapa jenak, kami paham, sebuah dongeng akan melantun indah.

Karena kami semua di rumah gemar dengan dongengan ibu, maka kami semua terbilang anak anaknya yang rajin.

Kembali ke soal sembilan bulan saya membuntuti Pak Raden, terekam lebih dari 68 dongeng asli yang saya transkrips. Dan boleh saya cantumkan lagi sekitar 136 dongeng tentang keseharian…. (Benar-benar banjir dongeng, bukan?)

Dan, salah satu yang sangat saya suka adalah saat dia mendongeng di depan anak-anak. Meriah. Atraktif dan penuh kejutan! Dia berpakaian lengkap dengan ala Pak Raden berikut blangkon dan kumisnya. Selain dengan boneka, tentunya yang membuatnya berbeda dia adalah salah satu pendongeng di Asia yang pertama kali mendongeng sambil menggambar.

Mengapa saya selalu membuntutinya meski setelah sembilan bulan berlalu saya masih ikut jika Pak Raden ada hajatan mendongeng?

Tujuan semula adalah melihat-mencatat-merekam-mengamati aktivitasnya, yang siapa tahu ada remah-remah data yang bisa saya angkat dalam buku nantinya. Tapi, setelah saya rasa cukup pun, saya tetap ngintilin dia… (Ini kebutuhan lain, sayanya saja yang mau…)

Tak bisa ditolak, jika pada akhirnya saya sering dijadikannya “asisten” dadakan.

Mulai dari persiapan dongeng, membantu membawakan property, menyiapkan boneka yang akan diperagakannya, membawakan spidol dan gulungan kertas,

Di menit pertama saya bersikap waspada, karena saya asistennya!

Lalu dimenit-menit berikutnya saya tak ubahnya menjadi “pendengar” setia ketimbang membantunya bekerja. (sering kali saya lupa boneka mana yang harusnya saya ambil dari tas besar yang berisi boneka-boneka itu, karena saya terhanyut dongengannya itu…)

Suatu hari, beberapa bulan silam, ketika ia diundang mendongeng di sebuah sekolah dasar di Jakarta Selatan saya juga ikut membantu….

“…hampir seratus anak yang masih mau mendengar dongengan saya… Kok mereka masih mau, ya mendengarkan dongeng saya…?” katanya sumringah.

Saya tersenyum. Ditambah satu lagi, pak, kata saya dalam hati.

Kali itu saya terlihat mengantuk (sekaligus terhanyut)….

Selain baru mendarat di Jakarta pukul 8 pagi selepas tugas dari Ambon yang memelahkan itu, lokasi dongengnya kali itu pun di sebuah sekolah yang nun jauuuuhhhhh…. di pelosok Ciputat sana.

Kali itu dongeng tentang Si Meylan yang tersesat di hutan…..

Karena ibu saya berada di kampung, maka saya jadi lebih mudah mengantuk.

Inilah yang membuat saya lebih mengambil sikap sebagai seorang cucu yang siap didongengi sebelum tidur…

Zzzzzzzzzzzz…. (Slipi, 01/09/09 Chus@CBA Holistic Writer)




Adigaya Adu Gaya

Ada beberapa persamaan anrata saya dan Pak Raden. Selain sama-sama suka dongeng, suka mendongeng, dan sama-sama menulis buku dongeng, kami juga punya persamaan: SANGAT SENANG DIFOTO!!!

Lelaki kelahiran yang genap berusia 77 tahun bulan November mendatang itu sadar betul bagaiaman harus bergaya di depan kamera. Di atas panggung ketika sedang mendongeng, misalnya, ia akan sesegera mungkin menangkap arah datangnya kamera. Tak perlu heran jika dia akan sesempat mungkin menahan nafas, dan mengacungkan telunjuk dan mengambil ekspresi khas Pak Raden.

“Kadang saya bisa tahan nafas sampai beberapa menit kalau tahu ada yang mau foto, meskipun saya sedang asyik ngobrol…” katanya.

Dalam kehidupan sehari-sari pun begitu. Saya dan rekan saya Didi Bangka acap datang ke rumahnya membawa kamera saku. Maksudnya, kami ingin menangkap gambarnya secara natural. Tapi setelah dilihat lagi hasilnya, kami kesulitan mendapat pose saat dia mlengos atau kata lain, beliau ini sadar kamera betul…

***

Saya selalu membawa jarit batik segi tiga pemberian bapak saya ke dalam tas. Kadang untuk menutup mulut ketika naik ojek, seringnya saya usap-usap kalau sedang kangen bapak saya di kampung.

“Dipakai saja, sekalian enggak apa-apa kan?” usulnya.

“Ah… saya kan bukan artis…. Malu sama hidung saya, pak,” canda saya.

Maka setelah itu saya sering memberanikan diri memakai jarit batik segi tiga itu di leher, ya, atau di pergelangan tangan. Misalnya saat pemotretan untuk sampul buku kami ini.

Harun sang fotografer seharusnya mengabadikan pose Pak Raden. Tapi pada kenyataannya, saya tak tega kalau Pak Raden berpose sendirian. Pak Raden mengatakan, “Siapa orang yang tak suka difoto?”

Saya senang dengan ungkapannya kali ini.

***

Dan akhirnya, dari hasil jepretan Harun sang fotografer kali ini banyak juga memuat pose saya. Termasuk dua foto di bawah ini, sebagai sedikit contoh yang ada. Ketika saya cetak hasilnya, lalu meluncurlah pertanyaan yang cukup mengejutkan…

“Nah!” katanya mendelik, saat memperhatikan lamat-lamat hasil cetak dua foto tersebut, “sekarang, siapa yang lebih bergaya coba?”

Dia tersenyum. Saya pun senyum... (Chus@CBA Holistic Writer)

Foto-foto: Dokumentasi Chusnato
Share this article :

0 comments:

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates