Headlines News :
Home » , » Keajaiban Secangkir The Hangat

Keajaiban Secangkir The Hangat

Written By Admin on Sunday, September 13, 2009 | 4:25 PM



Hangat. Saya biarkan aroma teh dari dataran tinggi Kerinci itu membasahi lidah, kemudian rasa kesatnya mengecat langit-langit mulut, lalu rembesannya mencakar kerongkongan.


Oleh P Chusnato

Sewaktu kecil, nun di sumbing sebuah dusun di Cilacap, ibu saya selalu merayakan pagi kami sekeluarga dengan secangkir teh tawar hangat. Rasa teh yang tidak bergula itu menjadi sebuah perayaan yang berbeda dari toples gula kami yang selalu kosong di dapur.


Menu sarapan pagi kami bisa saja berganti-ganti. Hari ini bisa jadi ikan asin besar, karena kemarin sudah ikan asin kecil. Dan mungkin saja lusa kami makan ikan asin sedang. Jika kondisi keuangan bapak semakin memburuk, kami terbiasa melewatkan menu-menu istimewa itu tadi. Tapi untuk secangkir teh, kami selalu punya alasan untuk merayakan pagi dengan gembira....

Kami tinggal di sebuah sudut kampung di garis pantai selatan. Jauh dari aroma daun teh yang tumbuh nyaman di pegunungan. Tapi, dari tulisan Kakuzo Okakura, seorang ‘filsuf teh’, pernah saya membaca bahwa, “teh tumbuh di dataran tinggi, tapi menyebar ke seluruh dunia secara merata di seluruh pelosok dunia dengan denyut aroma dan kesucian sarinya." Dalam buku berjudul “The Book of Tea” (1906) itu Kakuzo mengulang-ulang kalimat, “teh adalah bagian dari manusia yang tak bisa lepas dari kebersamaan dalam keharmoniannya...” Entah apa yg ditulis oleh si filsuf teh itu...

Lalu, saya ingat pesan ibu saya sewaktu kecil. “Teh hangat tawar lebih baik diminum pagi, karena kalian masih kecil-kecil,” ujar ibu kepada 11 anaknya yang kesemuanya laki-laki itu jika ditanya kenapa musti minum teh di setiap pagi menjelang sekolah.

Saya yang anak kesembilan, pasti nurut saja, karena hanya satu alasan; kakak paling sulungpun tak pernah membantah untuk hal yang satu ini.

*

Suatu senja di sebuah restoran mini saat saya sedang plesiran di Macau beberapa tahun silam, saya berjumpa dengan seorang kakek. Dia duduk tepat di seberang saya, memandang meja yang masih kosong. Kata seorang pramusaji dia memang selalu begitu.

Si kekek hanya memesan secangkir teh cina. Pramusaji yang saya tanyai pun bilang si kekek tua itu tak pernah diusir hanya lantaran tidak memesan menu utama lain. Seperti kebanyakan gerai makanan di Macau, teh hirupan pembuka santapan adalah menu selamat datang yang disajikan gratis. Si kakek tadi itu kerap datang dua tiga kali saban pekan. Selalu begitu; datang sendiri, memesan teh, tak banyak bicara, terdiam memandang meja kosong, lalu pergi setelah teh itu mendingin, tanpa setetes pun yang terteguk.

Selalu seperti itu dan sudah beberapa tahun terakhir begitu, kata si pramusaji yang menjadi media penghubung bahasa kami.

“Kami tidak pernah mengusirnya, karena dia hanya menghabiskan waktu tak lebih dari 20 menit. Sejak istrinya meninggal, katanya, ia tak sanggup lagi minum teh sendiri,” kata si pramusaji.

“Tapi, mengapa dia tetap memesan teh?” tanya saya polos.

“Dia selalu mengulang kata ‘tak sanggup’. Dia sering dijuluki kakek ‘tak sanggup’. Apapun yang ditanya, jawabannya selalu tak sanggup dan nyaris tak ada jawaban lain....”

*

Beberapa hari lalu, secangkir teh tawar hangat mendekap saya di malam beku. Betapa ganjilnya perasaan saya saat itu; sendirian terjaga malam dengan secangkir teh yang sedang mengepul.
Saya teguk perlahan. Hangat. Saya biarkan aroma teh dari dataran tinggi Kerinci itu membasahi lidah, kemudian rasa kesatnya mengecat langit-langit mulut, lalu rembesannya mencakar kerongkongan. Karena tadinya saya yakin betul, begitu ia sampai di palung perut, rasa hangatnya akan menggantikan malam beku sendirian meski tanpa seorang kekasih yang merapat di sebelah.
Ternyata, teh hangat tawar belum juga bisa menawar kesepian itu.

Salah satu alasan mengapa saya ingin mempunyai kekasih adalah secangkir teh. Berbeda dengan susu, cokelat, kopi, atau cola bersoda, untuk menikmati teh tawar hangat membutuhkan satu teman lagi. Saya bisa berjam-jam dengan secangkir kopi hangat di sebuah cafe dengan sebuah buku. Saya pun pernah menenggak susu cokelat hangat sekaligus dalam jeda dua tegukan. Tapi, untuk teh hangat saya merasa salah tingkah untuk menikmatinya sendiri.

Saat rasa kesatnya mulai menghambur di lidah, dan saat itulah saya bergegas ingin memulai perbincangan. Lalu kepada siapa? “Saya butuh penawar sepi,” desis saya seorang diri.

Saya belum menjelajah gunung Kerinci di Sumatera sana, tapi aromanya teh Kajoe Aro yang sedang saya teguk ini mengingatkan kembali betapa ‘kesat’-nya rasa sepi secangkir teh jika dinikmati sendirian. Saya membayangkan, begitu nikmatnya secangkir teh hangat tawar dengan sebuah obrolan di sebuah beranda.

Ya, kalaupun tidak, bolehlah berkelakar, ngalor-ngidul bersama keluarga atau teman.
Seperti si kakek tua tadi, saya termasuk orang yang tak sanggup hidup sendiri. Dan, percayalah, mungkin saya seperti Anda semua, kerap dihinggapi rasa takut kehilangan seseorang, apalagi orang yang paling dicintai. Setiap kali perasaan itu datang, sekuat mungkin saya tepis. Saya tak pernah dan tak ingin bersahabat dengan kehilangan.

Ibu saya di kampung pernah berujar, rasa sepi dan kehilangan itu baru datang setelah seseorang yang kita cintai sudah tidak ada lagi di samping kita. Klasik dan terdengar sangat naif, memang. Lalu saya berandai-andai, bagaimana caranya kita bisa merasakan kesepian yang dalam tanpa harus merasa kehilangan.

Jika semua mahluk di dunia akan ”makan malam” di alam akhirat nanti, kita bisa menikmati dulu kata pepatah, ”hidup ini hanya sekadar mampir minum”. Dan, secangkir teh hangat tawar itu yang juga sempat menghantarkan saya. Seperti juga hidup,begitu kesat, kadang pahit, kadang manis...* Chus@CBA

Catatan:
1. Pada gambar: Teh Kajoe Aro adalah teh dataran tinggi Kerinci, Jambi. Teh bubuk seduh ini diproduksi PTPN VI Jambi. Yang saya peroleh dari seseorang yang sangat istimewa.

2. Tulisan pribadi yang akan menjadi buku kumpulan renungan malam ini pernah saya tayangkan di akun fesbuk yang terdahulu. Setelah akun itu hilang, saya mempunyai akun baru. dan di sini saya tayangkan kembali.
Share this article :

0 comments:

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates