Headlines News :
Home » , , » Wahai Instan Permata

Wahai Instan Permata

Written By Admin on Tuesday, April 28, 2009 | 4:58 AM

Oleh Darminto M Sudarmo

Mie instan, minuman instan, gelar instan dan banyak hal instan lain yang berlalu-lalang di sekitar kita, terasa tidak aneh lagi. Sebagian masyarakat bahkan menyikapi gejala itu dengan santai dan masa bodoh. Memang ada instan yang secara temporer dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan mendadak kita; namun sebagian lain, kecenderungan instan justru makin menandai semakin merosotnya komitmen kita pada kualitas dan proses. Akan menjadi seperti apa bangsa kita ke depan bila kredo serba mau cepat dan tidak sabaran itu makin menjadi-jadi?

Jawabannya, mari kita lihat bersama-sama!

Dalam beberapa dekade yang lalu masyarakat banyak dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa mengagetkan. Dari kasus mie instan yang beracun, penutupan tiga media massa cetak, debt collector yang menggila, ekspor fiktif, kenaikan tarif listrik, sampai gugat-menggugat perkara seputar sosok seorang pahlawan. Media massa ramai. Masyarakat pun, di tempat-tempat yang representatif: restoran, café kedai kopi, pub, kantin, dan lain-lain tak bosan-bosan menggosipkannya.

Salah satu fenomena yang menarik dari kecenderungan ini adalah tampilnya informasi sebagai power yang dapat menggiring tingkah laku dan kebiasaan masyarakat di komunitas tertentu. Lebih-lebih masyarakat metropolitan, yang secara esensial tak dapat "hidup" tanpa aktualisasi informasi.

Masalah satu belum tuntas, masalah-masalah berikutnya sudah timpa-menimpa. Head-line suratkabar, laporan utama majalah berita, silih berganti berteriak saling berebut pembaca. Demikian, terus-menerus, sampai akhirnya secara pelan tapi pasti, sementara masyarakat yang jeli, perlu menempatkan skala prioritas dalam menghadapi sergapan-sergapan informasi itu. Bagian-bagian informasi mana yang dianggap relevan dan perlu diakses. Informasi-informasi mana yang perlu ditempatkan dalam prioritas pelengkap.

Uniknya, dalam bioritme masyarakat informasi yang nyaris sudah terpola itu, ternyata juga dikagetkan oleh "dadakan-dadakan" lain yang tak kalah hebohnya. Yakni, lewat munculnya ledakan popularitas sejumlah "figur" instan yang tiba-tiba juga "berteriak" merampok perhatian masyarakat. Dunia kriminalitas, dikejutkan oleh munculnya kekerasan dan kekejaman yang kadang sampai membuat ngilu rasa sosial masyarakat karena si pelaku adalah orang yang sebelumnya tak pernah punya indikasi atau reputasi di bidang itu. Dunia perbankan dihebohkan oleh kasus kredit macet, yang buntutnya belum tuntas hingga kini. Dunia usaha, dunia kesenian, dunia selibritis, bahkan hingga kemunculan sejumlah "pakar" baru yang begitu mendadak di berbagai bidang dan sesudah itu lalu "lenyap" tak tentu rimbanya, praktis membuat masyarakat jadi cingak dan bingung meletakkan sikap dan tingkah lakunya.


Fenomena di atas adalah fenomena instan. Kecenderungannya serba sekejap dan kurang menggugah kesan mendalam. Makin beragamlah warna tradisi metropolitan. Tak beda dengan kesibukan lalu-lintas yang melintas laju maupun lambat dalam mekanisme keseharian, namun tidak membekaskan kesan berarti bagi warga sekitarnya. Kesan dan perhatian warga baru muncul ketika mekanisme itu tiba-tiba koyak karena adanya tabrakan kendaraan atau distorsi-distorsi temporer lainnya.

Apa sesungguhnya yang tengah terjadi di negeri ini, khususnya di kota metropolitan ini? Setiap hari ribuan orang dalam unit-unit kendaraan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Pagi, siang, sore, bahkan malam. Semua bergerak dalam mobilitas sebagai manusia ibukota yang selama ini dikenal dinamis dan berdaya hidup tinggi. Apa yang dicarai dan didapatkannya? Mungkin tak penting benar untuk dipertanyakan atau dicari jawabannya. Tradisi ini adalah buah dari kesepakatan, bahkan kebutuhan komunitas masyarakat setempat.

Kalau di kemudian hari masyarakat menyadari, bahwa mereka telah menjadi "objek" dari permainan informasi, permainan image hasil rekayasa doktrin bisnis atau politis, apa itu perlu benar dipersoalkan. Berondong-bondong ke toko serba ada dan memborong barang sebanyak-banyaknya -- direncanakan atau tidak; dibutuhkan atau tidak -- toh mereka bisa menikmatinya. Semangat super konsumtif terhadap segala macam barang -- dari parfum sampai apartemen -- toh mereka senang, bisa menikmati, mampu dan apa salahnya menggunakan hak sebagai seorang warga negara yang dilindungi undang-undang.

Di banyak jalan, mobil-mobil pribadi yang memuat hanya satu atau dua orang dan masih baru, berderet-deret rela macet. Rela terhambat perjalannya. Toh meskipun macet, mobil ber-AC, jadi apa persoalannya? Apa urusannya dengan anjuran naik kendaraan umum di hari efektif kerja dan berkendaraan pribadi di hari libur? Pemilik mobil tak selamanya karena memiliki banyak uang. Ada yang harus menempuh lewat kredit, lalu mengangsur tiap bulan dengan konsekuensi mulut anak-istri-suami di keluarga harus betul-betul "puasa". Apakah kendaraan umum mampu menjamin keamanan dan gengsi? Sementara "tradisi" yang terlanjur hidup di metropolitan, hanya memandang dengan sebelah mata orang-orang yang penampilan fisik dan sarana mobilitasnya berada di kelas unprofitable

Ini mungkin gila Namun pelan tapi pasti, fenomena-fenomena itu kian mengkristal. Menambah kompleks dan tegangnya nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat metropolitan, meskipun di sejumlah komunitas etnis tertentu, masih kuat memegang nilai-nilai sosial "lama" yang nyaman dan murah hati.
Andaikata harus dipertanyakan, kecenderungan nilai "baru" yang biasanya bergegas dan serba sekejap itu kian melebar dan mencengkeram tatanan-tatanan "lama", bagaimana masa depan nilai moral sosial dan budaya kota ini? Bagaimana kalau ditiru oleh kota-kota lain, bahkan diidolakan sebagai "proyek percontohan" yang mengundang pesona dan kharisma? Kita tunggu saja, apa yang akan terjadi lagi di ibukota tercinta ini.

Partai-partai instan, politisi-politisi instan, caleg-caleg instan, capres-cawapres instan, makin menambah riuhnya suhu udara yang sudah sangat pengap ini. Ketambahan lagi oleh harapan-harapan instan mereka yang setinggi langit, segede gunung, seluas samodra; lalu kenyataan sebaliknya pun datang mendadak secara instan. Sepertinya kita lagi berada di tahap mencari-cari jati diri, kendati ujung dari semua ujung itu tak lebih tak kurang hanya: mencari penghasilan. Tak peduli penghasilan itu berupa duit atau puji sanjung dan tepukan tangan.
Karena capek, maka mendadak saya tak dapat mengetik lagi. Ini namanya buntu instan!
Share this article :

0 comments:

Amir Taqi's Works

Amir Taqi's Works

Popular Posts

Related Blog or Site

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kostum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger | Distributed by Rocking Templates